PADA suatu ketika, hiduplah dua ekor kucing yang selalu bertengkar satu sama lain. Yang pertama adalah Si Hitam, sedangkan yang ke-dua Si Putih. Dalam hubungan pertemanan, keduanya tak pernah akur. Masalah sekecil apapun yang timbul di antara mereka, bisa menyebabkan pertengkaran yang dahsyat. Meskipun demikian, seiring berjalannya waktu, mereka akhirnya berdamai juga. Begitulah mereka, bertengkar, bermaafan, bertengkar, bermaafan. Demikian seterusnya.
Pada suatu hari, mereka berdua hendak berjalan-jalan ke sebuah taman. Dalam perjalanan ke sana, keduanya menemukan sepotong roti yang tampak sedemikian lezat. Kebetulan keduanya memang sangat lapar karena belum makan sedari pagi. Maka air liur mereka pun bertetesan karena tergiur dengan sepotong roti itu. Entah siapa di antara keduanya yang melihat roti tersebut terlebih dahulu. Namun masing-masing mengklaim bahwa roti tersebut adalah miliknya. Yang lain tak mempunyai hak sedikit pun atasnya. Keduanya pun bertengkar dan saling adu mulut. Bahkan hampir saja mereka saling cakar mempertahankan pendirian masing-masing. Kebiasaan buruk mereka kambuh lagi.
Setelah cukup lama bertangkar, akhirnya mereka insaf. Keduanya sadar bahwa pertengkaran tak akan menyelesaikan permasalahan. Namun perihal sepotong roti itu? Siapa punya? Mereka pun akhirnya bersepakat untuk mencari penengah yang akan memutuskan perkara mereka. Maka ditunjuklah Si Monyet sebagai hakim. Keduanya percaya bahwa sang hakim akan memutuskan perkara mereka dengan adil.
Mereka pun berjalan bersama menuju tempat sang hakim. Sesampainya di sana, keduanya menceritakan permasalahan yang terjadi di antara mereka. Kemudian mereka memohon kepada sang hakim agar memutuskan siapa pemilik roti tesebut. Kepada keduanya, sang hakim berkata, “Baiklah, Saudarku, saya bersedia membantu Kalian. Namun apakah nantinya saya mendapatkan upah atas bantuan yang saya berikan?” Si Hitam dan Si Putih serentak menjawab, “Tentu, wahai Hakim. Kami akan memberimu upah yang layak.”
Si Monyet yang kini menjadi hakim mulai berbuat sesuatu untuk memutuskan perkara. Dia mengambil sebuah neraca yang mempunyai dua buah piringan di kanan-kirinya. Kemudian dipotonglah roti tersebut menjadi dua bagian yang tidak seimbang. Potongan pertama kecil, sedangkan yang ke-dua lebih besar. Diletakkanlah masing-masing potongan tersebut pada kedua piringan timbangan. Dan tentu saja, tidak seimbang. Yang ke-dua lebih berat daripada yang pertama.
Maka sang hakim mengurangi beberapa cuil bagian yang lebih berat, kemudian memakan cuilan roti itu. Setelah ditimbang kembali, bagian yang telah dikurangi tersebut ternyata tidak menjadi lebih seimbang, tetapi malah lebih ringan daripada bagian yang lain. Sang hakim kemudian ganti mengambil bagian yang satunya, lalu menyuil beberapa bagian untuk kemudian memakan cuilan tersebut. Setelah ditimbang kembali, keduanya tidak juga menjadi seimbang. Bagian ke-dua yang dicuil tersebut justru menjadi lebih ringan.
Demikianlah masing-masing potongan roti itu dikurangi terus-menerus secara bergantian. Selama itu pula timbangan tidak juga menjadi lebih seimbang, melainkan berat sebelah. Hal itu terus berlangsung hingga akhirnya tinggallah dua potong roti yang sangat sedikit.
Melihat tingkah sang hakim yang tampaknya janggal itu, Si Hitam dan Si Putih menjadi berang. Keduanya merasa diperlakukan secara tidak adil. Sang hakim yang diharapkan memberi putusan yang adil bagi mereka, kini justru menipu mereka. Mereka pun marah kepada sang hakim. Namun kemarahan itu tidak sampai menyulut keduanya berbuat kasar. Mereka hanya menuntut agar sisa roti yang tinggal sedikit itu dikembalikan kepada mereka. Namun apa reaksi sang hakim atas tuntutan keduanya? Ternyata dia tidak begitu saja memberikan sisa roti tersebut. Sambil mengambil kedua potong roti dari masing-masing piringan, sang hakim berkata, “Wahai Saudaraku, kedua potong roti ini adalah bagianku. Bukankah kalian telah berjanji kepadaku untuk memberiku upah? Inilah upahku itu.”
Si hitam dan si putih tidak bisa berbuat banyak. Keduanya lunglai. Mereka terpaksa membiarkan sang hakim mengambil sisa kedua potong roti itu. Tentu dengan perasaan yang masygul dan penuh sesal. Sembari meninggalkan sang hakim, keduanya bergumam, “Dasar monyet sialan!” [*]
Cerita ini disadur dari judul yang sama (berbahasa Arab) yang dimuat di buku Al-Lughah al-‘Arabiyyah li al-Madaris wa al-Ma’ahid bi Indunisiyya Vol. 1B, dengan penyesuaian seperlunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar