Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer


IDENTITAS BUKU: Penulis: Dr. Nasihun Amin, M.Ag.; Judul Buku: Dari Teologi Menuju Teoantropologi: Pemikiran Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer; Editor: M. Mukhsin Jamil, M.Ag.; Desain Cover: Mohammad Nor Ichwan; Setting/ Layout: Team Walisongo Press; Penerbit: Walisongo Press; Cetakan Pertama: November 2009; Jumlah Halaman: xii + 136; Ukuran Buku: 14 x 20 cm.

REVIEW: Berangkat dari kegelisahan intelektual penulis menyaksikan ketidakberdayaan teologi, yang notabene bagian dari agama, dalam menyelesaikan pelbagai persoalan yang dihadapi masyarakat, buku ini hadir di hadapan pembaca. Adakah sesuatu yang salah dengan bangunan teologi yang ada selama ini, sehingga perlu diadakan pemahaman dan konstruksi ulang agar lebih mampu menjawab tantangan zaman? Lantas, konsep teologi yang bagaimana yang dibutuhkan oleh masyarakat pada masa kini? Melalui buku ini penulis menguraikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dalam konteks ini, penulis berusaha menggali pemikiran Asghar Ali Engineer mengenai konsep Teologi Pembebasan. Teologi Pembebasan memastikan bahwa konsep teologi yang selama ini dikenal abstrak dan transenden menjadi bisa dipahami dan diterapkan dalam kerangka dan perspektif yang lebih ”manusiawi”. Dengan demikian, pembahasan-pembahasan yang ada dalam teologi akan dapat menyentuh secara langsung terhadap kebutuhan dan persoalan-persoalan riil manusia. Secara lebih spesifik, Teologi Pembebasan mengupayakan manusia untuk bisa terlepas dari pelbagai tindak ketidakadilan, penindasan, pemiskinan, pembodohan, d.l.l. (hlm. 10).

Untuk mendapatkan gambaran secara utuh atas konsep Teologi Pembebasan ini, penulis membagi buku ini ke dalam enam bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi latar belakang dan pengantar menuju wacana. Bab kedua memotret perkembangan dan paradigma teologi dalam Islam, kegagalan teologi dalam merespons persoalan aktual, serta solusi atas persoalan ini. Bab tiga menguraikan tentang sosok dan riwayat hidup Asghar Ali Engineer, latar sosial di mana dia hidup, serta kerangka metodologis pemikirannya. Bab empat menguraikan secara rinci tentang konsep Teologi Pembebasan yang dicetuskan oleh Asghar Ali Engineer. Bab lima merupakan analisa penulis yang menjelaskan tentang apa yang disebutnya sebagai teoantropologi. Sedangkan bab enam adalah penutup yang berisi kesimpulan atas seluruh pembahasan, serta saran-saran untuk perbaikan ke depan.

Memasuki bab dua, penulis menyoroti pelbagai kelemahan dan ketidakberdayaan teologi Islam yang ada selama ini mengahadapi tantangan masyarakat modern yang serbakompleks, baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, maupun ilmu pengetahuan dan teknologi. Konsep-konsep teologi aliran yang ada dikritik penulis sebagai sebuah produk pemikiran yang hanya relevan pada masanya, tetapi tidak cocok untuk kehidupan masyarakat masa kini. Sebab, perhatian aliran-aliran teologi tersebut difokuskan hanya pada permasalahan yang terkait dengan ketuhanan. Misalnya konsep tentang keadilan yang oleh Mu’tazilah dipahami sebagai perbuatan Tuhan yang selalu dan harus baik. Tuhan tidak mungkin melakukan perbuatan yang tidak baik, dan tidak akan meninggalkan apapun yang sudah menjadi kewajiban-Nya. Demikian juga Asy’ariyah yang memahami konsep keadilan ini sebagai perbuatan Tuhan yang tidak bisa dilawan, ditentang, maupun disalahkan. Keadilan, dengan demikian, adalah hak pererogatif Tuhan yang tak bisa diganggu-gugat. Menurut penulis, konsep ini pada tataran manifestasinya akan menimbulkan kesalahpahamn, bahkan menjadi alat legitimasi bagi praktik-praktik kehidupan yang keliru (hlm. 21). Semua itu pada gilirannya akan mengungkung manusia dalam ketidakberdayaan, kelemahan, dan keterbelakangan dalam segala aspek kehidupan, baik individual maupun sosial.

Bertolak dari keadan tersebut, diperlukan sebuah konsep teologi yang bersifat liberatif. Teologi, dalam tataran kehidupan masa kini, haruslah menyentuh akar persoalan hidup manusia secara riil. Dalam konteks inilah Teologi Pembebasan menjadi alternatif solusi untuk memecah kebuntuan dalam bidang teologi tersebut. Di kalangan Islam, konsep Teologi Pembebasan ini disuarakan antar lain oleh Hassan Hanafi, Ziaul Haq, Asghar Ali Engineer, Farid Essack, moeslim Abdurrahman, d.l.l. Meskipun demikian, konsep ini pada awalnya lahir dari rahim pemikiran Kristen pada akhir tahun 1960-an sebagai reaksi atas kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang terjadi di Amerika Latin. Para pencetus awal konsep ini antara lain adalah Leonardo Boff dan Gustavo Gutierrez. Boff memahami Teologi Pembebasan sebagai proses menuju kemerdekaan, baik merdeka dari segala bentuk sistem yang menindas, maupun bentuk pembebasan untuk realisasi pribadi manusia yang memungkinkannya untuk menentukan dirinya sendiri, tujuan-tujuan hidupnya, serta pilihan-pilihan poltik, ekonomi, dan kulturnya sendiri (hlm. 27).

Dalam konteks Islam, Farid Essack memaknai Teologi Pembebasan sebagai sebuah pembebasan dari struktur sosial, politik, dan keagamaan yang didasarkan kepada kepatuhan tanpa kritik, serta kebebasan seluruh manusia dari segala bentuk ketidakadilan dan eksploitasi, termasuk yang disebabkan oleh ras, gender, kelas, dan agama (hlm. 30). Menurut penulis, konsep teologi ini termasuk ke dalam paradigma teologi transformatif di antara ketiga paradigma lainnya.

Asghar Ali Engineer, dalam konteks Teologi Pembebasan ini, adalah salah satu pelopor. Pemikirannya mengenai konsep teologi ini tak terlepas dari latar belakang keluarga, latar kehidupan sosial, dan pemikiran-pemikiran yang dipelajarinya, baik mengenai keislaman maupun keilmuan-keilmuan lainnya. Terlahir di kalangan keluarga Syi’ah Isma’iliyah, Asghar kecil memeroleh pengajaran-pengajaran keagamaannya dari sang ayah secara tradisional. Bekal pengetahuan tentang Islam dan bahasa-bahasa asing dari sang ayah tersebut menjadi modal yang sangat berharga bagi Asghar dalam mengonstruksi pemikiran-pemikiran dan aksinya. Selain itu, dia juga aktif di pelbagai organisasi sosial dan akademik-inelektual. Sebagai aktivis sosial-keagamaan, dia juga gigih memperjuangkan pembebasan, antara lain dalam bidang hak asasi manusia, hak-hak perempuan, pembelaan rakyat tertindas, perdamaian etnis dan agama, rehabilitasi lingkungan, d.l.l. (hlm. 43). Latar sosial masyarakatnya yang masih diliputi dengan ketidakadilan, penindasan, diskriminasi, dan keterbelakangan, menjadi pendorong yang sangat kuat baginya untuk merumuskan pemikiran dan aksinya mengenai pembebasan dari kondisi-kondisi tersebut.

Maka, menggunakan kerangka metodologi hermeneutika dan filsafat praksis, Asghar Ali Engineer merumuskan pemikirannya mengenai Teologi Pembebasan ini. Penggunaan metode hermeneutika dalam pemikiran Asghar terlihat pada konsistensinya dalam memulai pembahasan sebuah tema dengan menyinggung konteks sosial-historis kemunculan konsep-konsep keagamaan dan konteks skarang untuk memahami pelbagai ajaran agama (hlm. 56).

Dalam konteks al-Qur’an, pemakaian metode ini didasarkan pada keyakinan bahwa al-Qur’an tidak bisa dipahami secara teologis an sich tanpa melihat kerangka sosiologis yang melingkupinya. Sedangkan penggunaan filsafat praksis sebagai kerangka berpikir Asghar terlihat dari pelbagai tulisannya yang menekankan adanya pengutamaan pada praksis ketimbang teori-teori metafisika. Filsafat praksis adalah sebuah pemikiran yang menitikberatkan pada kesatuan dialektis antara teori dan aksi, teori dan praksis, serta iman dan amal. Praksis, dengan demikian, dipahami sebagai tindakan partisipatif dalam sejarah, serta praktik-praktik yang memperjuangkan berkembangnya kemerdekaan dalam masyarakat.

Selanjutnya pada bagian keempat, penulis menguraikan penjelasan tentang Teologi Pembebasan Islam yang digagas oleh Asghar Ali Engineer. Konsep teologi ini, sebagaimana dikutip penulis dari Asghar, menekankan pada kebebasan, persamaan dan keadilan distribusi, serta menolak keras penindasan, penganiayaan, dan eksploitasi manusia oleh manusia lainnya (hlm. 72). Gagasan Asghar ini sangat terkait dengan latar sosiologis dan kesejarahan atas lahirnya Islam itu sendiri. Menurut Asghar, teologi bukan sekadar aspek keyakinan akan ketuhanan semata, tetapi juga terkait dengan hal-hal praktis yang menyentuh persoalan riil kemanusiaan. Dan jika teologi pada awalnya adalah respons sosial-politik pada masanya, maka Teologi Pembebasan Islam ini juga menjadi respons sosial-politik pada masa sekarang. Islam, menurut Asghar, hadir dalam rangka mengkritisi terhadap kemapanan kekuasaan, baik yang dibangun di atas otoritas politik, ekonomi, maupun agama yang cenderung menindas dan eksploitatif. Islam adalah agama dengan sumber ajaran dan sejarah yang paling kaya, sehingga memungkinkan untuk berkembang menjadi ajaran teologis yang revolusioner dan membebaskan. Islam, di sisi lain, juga menekankan adanya kesatuan kemanusiaan yang tidak diskriminatif, serta menghendaki adanya keadilan dalam seluruh aspek. Keadilan ini, menurut Asghar, hanya bisa direalisasikan jika ada kebebasan.

Sedangkan karakteristik Teologi Pembebasan Islam yang menjadi gagasan Asghar ini adalah: berangkat dari realitas kekinian di dunia ini, kemudian baru dikaitkan dengan kehidupan akhirat; anti terhadap kemapanan atau status quo, baik dalam bidang politik maupun keagamaan; menjadi inspirator ideologis bagi orang-orang yang tertindas untuk menghadapi penindas; menekankan terwujudnya tatanan sosial yang adil, egaliter, dan tidak eksploitatif (hlm. 75-76). Untuk mewujudkan karakteristik-karakteristik tersebut diperlukan beberapa hal, antara lain: meneladani dan menerapkan semangat profetik dan liberasi kenabian Muhammad di Makkah; meneladani teologi-teologi revolusioner yang pernah ada dalam sejarah Islam, baik dalam tataran ide maupun praktis; melakukan interpretasi ulang terhadap ayat-ayat yang selama ini telah, menurut istilah Asghar, “diselewengkan” oleh ulama yang pro kemapanan. Maka, dalam kerangka Teologi Pembebasan Islam ini Asghar mengajukan rumusan ulang terhadap beberapa konsep kunci dalam teologi Islam yang telah mapan, yakni mengenai konsep tauhid-syirik, iman-kufur, adil, dan jihad.

Konsep tauhid misalnya, yang secara original mengacu pada keesaan Allah, dalam konteks Teologi Pembebasan Islam diinterpretasikan sebagai kesatuan seluruh manusia dalam segala hal. Sebuah masyarakat yang bertauhid, dengan demikian, tidak akan membenarkan diskriminasi dalam bentuk apapun, baik yang didasarkan atas ras, agama, kasta, maupun kelas (hlm. 81). Demikian juga konsep tentang iman, dalam hal ini al-iman bi al-ghayb, diinterpretsikan oleh Asghar sebagai keyakinan terhadap potensi-potensi dan kemungkinan-kemungkinan, baik yang terdapat dalam diri manusia maupun alam, yang dapat digunakan untuk perbaikan manusia di masa depan. Dengan demikian, ini akan menjadi inspirasi dan memacu kreativitas manusia untuk menciptakan hal-hal baru.

Dari pemikiran-pemikiran teologis yang digagas oleh Asghar Ali Engineer tersebut, juga konsep-konsep teologi lainnya dalam Islam, tampak bahwa teologi tak lain adalah sebuah gagasan, renungan, dan rumusan pemikiran ketuhanan yang terbentuk sesuai dengan latar historis-sosiologis pada masanya. Dalam konteks Asghar, dia lebih menekankan orientasinya pada aspek kemanusiaan secara praksis karena memang masyarakat pada masanya membutuhkan hal itu. Melalui gagasan Teologi Pembebasan Islam, Asghar, menurut analisa penulis, hendak melakukan perubahan struktur secara fundamental atas teologi. Dia berusaha mengarahkan Teologi Pembebasan Islam sebagai sebuah teologi yang reflektif-sosiologis, dan berorientasi kepada kemanusiaan “saat ini” dan “di sini”. Ini tampak dari pergeseran orientasi teologinya dari Tuhan ke manusia, dari akhirat ke dunia, dari keabadian ke waktu, dari eskatologi ke futurologi, dari takdir kepada kehendak bebas, dan dari teoretis ke tindakan praktis. Dengan kata lain, Asghar ingin mengubah teologi menjadi apa yang disebut penulis sebagai “teoantropologi” (hlm. 108).

Menurut penilaian penulis, Teologi Pembebasan Islam yang digagas oleh Asghar Ali Engineer ini dipengaruhi oleh Marxisme. Hanya saja, terdapat perbedaan yang fundamental antara Asghar dan Marxisme. Rumusan pemikiran Asghar, di satu sisi, berangkat dari kepercayaannya kepada kemampuan yang membebaskan dari agama. Agama, dalam rumusan Teologi Pembebasan Islam Asghar, menjadi inspirator untuk gerakan kebebasan. Sedangkan Marxisme, di sisi lain, justeru menganggap agama sebagai “candu” yang hanya berfungsi sebagai alat legitimasi bagi struktur masyarakat yang tidak adil dan opresif. Agama, dalam pandangan Marxisme, sama sekali tidak akan mampu menjadi kekuatan yang membebaskan rakyat dari belenggu penindasan antarkelas dan eksploitasi oleh pemodal (hlm. 117). Meskipun demikian, pemikiran teologis yang digagas Asghar Ali Engineer ini patut diapresiasi sebagai sebuah mitra dialog dan alternatif teologi atas sistem-sistem teologi yang sudah ada selama ini. [*]

Tidak ada komentar: