Kuliah Tasawuf (9): Harta Yang Terpendam

DALAM salah satu hadis qudsi, Allah berfirman: "Aku adalah harta yang terpendam (Kanz makhfiyy). tapi Aku cinta untuk dikenal, maka Kuciptakan alam semesta sehingga, melalui Aku, mereka mengenal-Ku." Hadis ini sebenarnya menjelaskan kepada kita bagaimana hubungan Tuhan dan alam semesta. Sebagai "Harta yang terpendam" maka Tuhan merupakan cikal bakal alam yang mengandung di dalamnya realitas-realitas potensial yang setelah melalui dua tahap ta'ayyun siap untuk diaktualkan ke dalam bentuk-bentuk nyata yang dapat kita jumpai di alam raya ini. 

Realitas-realitas potensial atau lebih tepat lagi "entitas-entitas yang mapan" (al-a'yan al-tsabitah) boleh dikata adalah bagaikan ide-ide dalam "pikiran" Tuhan yang pengaktualannya ke dalam kenyataan membentuk alam semesta yang kita kenal selama ini. Seperti ide atau rancangan yang ada dalam dalam pikiran sang arsitek adalah realitas potensial, dalam bentuk cetak biru, bagi bangunan yang akan dia bangun, yang tidak lain daripada aktualisasi ide-ide atau rancangan yang ada dalam pikirannya tersebut. Karena benda-benda yang kita temukan di alam ini begitu banyak, maka ide-ide yang ada dalam "pikiran" Tuhan pun pasti banyak, bahkan boleh dikata tidak terbatas. Ide-ide ini tentu lebih utama dan real, setidaknya menurut para sufi, dibanding perwujudannya di alam ini, karena sementara perwujudannya mengambil bentuk "akibat," ide-ide yang ada di dalam "pikiran" Tuhan itu adalah "sebab." Sebagai sebab tentu ide-ide ini lebih utama, dari perspektif ontologisnya, dibanding dengan perwujudannya, yang kita sebut alam, karena ia adalah akibat.

Selain menunjukkan "posisi" Tuhan, sebagai "harta yang terpendam" dalam kaitannya dengan alam, hadis qudsi tersebut juga ingin menunjukkan "motif" atau "apa yang mendorong Tuhan" untuk menciptakan alam semesta, dan, menurut para sufi, motif tersebut terdapat dalam ungkapan "aku cinta untuk diketahui" (fa'ahbabtu an u'raf). Jadi cintalah menurut mereka yang merupakan motif ilahi bagi penciptaan. 

Sepintas, seperti ada kejanggalan dalam ungkapan di atas, karena bukankah Tuhan itu Mahasempurna, tak kurang suatu apapun? Kalau begitu, mengapakah ia masih memiliki keinginan untuk dikenal? Untuk menjawab pertanyaan di atas, pertama-tama harus diketahui bahwa Tuhan yang tidak membutuhkan alam (ghaniyyun 'anil-'alamin), menurut para Sufi adalah Tuhan pada level pertama, ketika Ia masih bersifat transenden. Tetapi, seperti telah disinggung, pada level kedua, yakni level sifat, atau imamanen, sifat Tuhan telah berubah. Di level ini, dikatakan oleh Ibn 'Arabi, bahwa kebutuhan Tuhan pada alam adalah berbanding dengan kebutuhan alam pada-Nya. Misalnya, sebagai "Khalik" maka Ia membutuhkan adanya makhluk, yang tanpanya, maka Tuhan tidak bisa dikatakan Khalik. 

Kemudian keinginan Tuhan untuk dikenal, alih-alih menunjukkan kekurangan-Nya, justeru sebaliknya menjadi sebab terpenuhinya kesempurnaan-Nya di mata makhluk-Nya. Betapa tidak, justeru karena keinginan-Nya itulah maka Ia telah menunjukkan kebesaran-Nya, keindahan dan kasih sayang-Nya yang besar kepada makhluk-makhluk-Nya yang amat Dia cintai. Selain itu, bukan hanya Tuhan yang bisa dikenal oleh makhluknya, tetapi juga melalui makhluk, sebagai tajalliah dan cermin sifat-sifat-Nya, menurut sufi tertentu, mengenal diri-Nya, sebagaimana melalui cermain manusia bisa mengenali wajahnya. 

Setelah hadis tersebut menyebutkan kedudukan Tuhan terhadap alam sebagai "harta yang terpendam" dan "motif" penciptaan-Nya yaitu "keinginan atau kecintaan untuk dikenal" maka mulailah Tuhan menciptakan alam, "fakhalqtul-khalq." Bagaimana proses penciptaan alam, akan saya terangkan, insya Allah pada bagian lain yang secara khusus membicarakannya. Untuk sekarang, cukuplah dikatakan bahwa hakikat penciptaan itu tidak lain dari pada aktualisasi realitas-realitas potensial atau ide-ide yang terkandung dalam "pikiran" Tuhan, yang disebut "al-a'yan al-tsabitah," atau dalam arti tertentu sebagai "Harta yang Terpendam." 

Proses penciptaan ini bisa terjadi dalam bentuk "pemberian bentuk" kepada potensi (materi), karena, setidaknya menurut pandangan para filosof, terbentuknya sebuah benda adalah gabungan antara materi dan bentuk. Pemberian bentuk itu bisa dilakukan secara langsung oleh Tuhan atau oleh kepercayaan-Nya yaitu malaikat Jibril (akal X) yang disebutnya sebagai "pemberi bentuk" (wahib al-shuwar). Bisa juga melalui "perealisasian Diri" seperti yang diilustrasikan dalam filsafat Hegel. Tapi para sufi umumnya sepakat menafsirkannya melalui semacam pancaran "faydh" atau melalui apa yang disebut oleh Sachiko Murata sebagai "perkawinan" makrakosmis.

Selanjutnya, bagian akhir dari hadis qudsi tersebut mengatakan, "Maka melalui aku, mereka mengenal Aku." Potongan hadis ini sedikit kompleks dan karena itu membutuhkan penjelasan. "Melalui Aku, sebagai harta yang terpendam, mereka, makhluk-makhluk, khususnya manusia, mengenal Aku." Jelas dari hadis ini bahwa lewat alamlah kita bisa mengenal Tuhan, tetapi karena alam tak lain daripada pengejawantahan Tuhan, yang tidak punya wujud sendiri, maka ketika kita mengenal Tuhan lewat alam, pada hakikatnya kita mengenal-Nya lewat diri-Nya sendiri. Inilah makna yang dimaksud, "maka melalui Aku, mereka mengenal-Ku," (fabi 'arafuni). Inilah sedikit tafsir dari hadis qudsi di atas. 

Sekedar untuk diketahui, bahwa hadis ini sangat terkenal dan telah dijadikan oleh beberapa sufi, khususnya para pengikut Ibn 'Arabi, sebagai basis tekstual teori penciptaan mereka, yang di Indonesia dikenal dengan istilah martabat, seperti martabat tiga oleh Ibn 'Arabi (martabat ahadiyyah, wahidiyyah dan martabat syuhudi) atau martabat tujuh. Ini seperti yang dikembangkan oleh Syaikh Muhammad Isa al-Shindi al-Burhanpuri, yang telah mengembangkan 4 martabat lainnya, yaitu martabat alam arwah, martabat alam mitsal, martabat alam ajsam dan martabat insan kamil, serta para pengikut Ibn 'Arabi di Nusantara seperti 'Abdul Rauf al-Singki, Syamsuddin al-Sumatrani di Sumatra, dan Syaikh 'Abdul Muhyi di Jawa. Semoga bermanfaat.[*]

Artikel berseri "Kuliah Tasawuf" pada rubrik "Tasawuf - Filsafat" ini merupakan tulisan Prof. Mulyadhi Kartanegara. Beliau adalah dosen pada Islamic College for Advanced Studies (ICAS) - Paramadina, Jakarta, dan merupakan pakar di bidang tasawuf dan filsafat Islam.

Tidak ada komentar: