Kuliah Tasawuf (3): Makrifat


MAKRIFAT adalah sejenis pengetahuan dengan mana para sufi menangkap hakikat atau realitas yang menjadi obsesi mereka. Makrifat berbeda dengan jenis pengetahuan yang lain, karena ia menangkap objeknya secara langsung, tidak melalui representasi, serta image atau simbol dari objek-objek penelitiannya itu.

Seperti indera menangkap objeknya secara langsung, demikian juga hati atau intuisi menangkap objeknya secara langsung juga. Perbedaannya terletak pada jenis objeknya. Kalau objek indera adalah benda-benda inderawi (al-mahsusat), maka objek-objek intuisi adalah entitas-entitas spiritual (al-ma'qulat). Dalam kedua modus pengetahuan ini, manusia mengalami objek-objeknya secara langsung, dan karena itu makrifat bisa dikatakan sebagai ilmu eksperiential (dzawqi), yang biasanya dikontraskan dengan pengetahuan melalui nalar (bahtsi). Tetapi walaupun sama-sama melalui pengalaman manusia, hubungan orang tersebut dengan objeknya adalah berbeda. Dalam pengenalan inderawi, objek-objek itu berada di luar dirinya, dan dikaitkan dengannya melalui "representasi", sedangkan objek-objek intuisi begitu saja hadir dalam diri orang itu, dan karena itu sering disebut ilmu hudhuri (spontanitas) dan bukan ilmu hushuli, yakni sebuah ilmu yang dicapai melalui latihan dan percobaan.

Makrifat dapat dibedakan dari ilmu-ilmu rasional, di mana pemilahan subjek dan objek begitu dominan dan jarak keduanya sangatlah lebar. Walaupun ilmu-ilmu rasional atau akal itu sendiri sama-sama menangkap objek-objek ma'qulat, sebagaimana intuisi, tapi cara keduanya berbeda. Sementara akal menangkap objek-objek non-fisik melalui objek-objek yang telah diketahui, jadi bersifat inferensial, intuisi menangkap objeknya langsung dari sumbernya, apakah itu Tuhan atau Malaikat, melalui apa yang dikenal sebagai penyingkapan (mukasyafah) dan penyaksian (musyahadah). Penyingkapan ini bisa terjadi dalam keadaan jaga atau mimpi, dapat mengambil bentuk wahyu atau ilham, atau terbukanya kesadaran hati akan kenyataan yang selama ini tersembunyi demikian rapat.

Makrifat tidak bisa ditempuh dengan jalan inderawi, karena menurut Mawlana Jalaluddin Rumi, itu seperti mencari-cari mutiara, yang berada di dasar laut, hanya dengan datang dan memandang laut dari darat. Makrifat juga tidak dapat diperoleh melalui penggalian nalar, karena itu akan sama dengan menimba laut untuk mendapatkan mutiara itu. Untuk mendapatkan mutiara makrifat, kita membutuhkan seorang penyelam ulung dan beruntung; dengan kata lain butuh seorang mursyid (pembimbing) yang berpengalaman. Bahkan bukan hanya seorang penyelam yang ulung, tapi juga beruntung, yakni yang mendapat kemurahan dari Tuhan, karena tidak semua kerang yang ada di laut mengandung mutiara yang didamba.

Makrifat, seperti yang telah dikemukakan, berdasarkan pada pengalaman; artinya ia harus dialami, bukan dipelajari. Seperti untuk memahami manis, bisa dengan mudah dilakukan dengan mencicipi gula. Mencoba memahaminya lewat keterangan orang lain, atau membaca buku, akan memperoleh pengetahuan yang semu. Paling jauh, kita hanya bisa menghampirinya tanpa bisa menyentuhnya. Makrifat tidak bisa dipelajari dari buku, bahkan buku para sufi sekalipun. Ketika kita datang kepada seorang mursyid, maka ia akan mengajak kita melakukan disiplin-disiplin spiritual yang keras, agar kita mengalami pengalaman-pengalaman mistik atau keagamaan sendiri, dan dengan begitu bisa mencicipinya sendiri. Buku bagi seorang sufi hanyalah simbol karena terdiri dari huruf-huruf yang tidak lain daripada simbol yang disepakati. Tapi bisakah kita menyunting sekuntum mawar dari M.A.W.A.R?

Perbedaan lain antara makrifat dari jenis pengetahuan yang lain adalah cara memperolehnya. Jenis pengetahuan biasa diperoleh melalui usaha keras, seperti belajar, merenung dan berpikir melalui cara-cara yang logis. Jadi, manusia memang benar-benar berusaha dengan segenap kemampuannya untuk memperoleh objek pengetahuannya. Tetapi makrifat tidak bisa diusahakan sepenuhnya oleh manusia. Pada tahap akhir, semuanya tergantung pada kemurahan Tuhan. Manusia hanya bisa melakukan persiapan (isti'dad) dengan cara membersihkan diri dari segala dosa dan penyakit-penyakit hati lainnya, atau dengan kata lain, dari segala akhlak yang tercela. Ibarat kaca yang dipasang untuk menerima sinar matahari ke dalam rumah hati kita, kaca tersebut harus senantiasa dibersihkan dari segala debu yang menempel di permukaannya, agar ketika sinar matahari tersebut masuk atau hadir, kaca kita siap mengantarkannya masuk ke dalam jantung rumah kita dan memberi cahaya kepada sekitarnya. Dengan begitu terjadilah iluminasi terhadap benda-benda yang ada di sekitarnya, dan membuat benda-benda yang tadinya tidak nampak atau remang-remang menjadi jelas dan cemerlang. [*]

Artikel berseri "Kuliah Tasawuf" pada rubrik "Tasawuf - Filsafat" ini merupakan tulisan Prof. Mulyadhi Kartanegara. Beliau adalah dosen pada Islamic College for Advanced Studies (ICAS) - Paramadina, Jakarta, dan merupakan pakar di bidang tasawuf dan filsafat Islam.

1 komentar:

Rental camera mengatakan...

maaf belajar ilmu makrifat harus ada pembimbingnya.jangan belajar sendiri.ini bisa membahayakan!