Mengasah Dimensi Kemanusiaan Kita

MANUSIA adalah makhluk biologis yang mempunyai dimensi spiritual. Dengan spiritualitas itu mereka dapat menangkap dan merasakan keindahan cinta dan seni, serta mampu mencapai tingkatan ketuhanan. Dengan sifat yang fitri itu pula mereka dapat hidup berdampingan secara damai dengan sesama manusia dan makhluk lainnya.

Namun tak dapat dimungkiri bahwa unsur biologis manusia terkadang mendapatkan porsi yang lebih besar dalam kehidupan mereka. Ini tentu dapat dimaklumi mengingat mereka memang hidup dalam ikatan tubuh fisis yang memerlukan unsur-unsur suplemen tertentu yang dibutuhkan untuk mempertahankan kehidupannya. Maka, sepanjang pemenuhan kebutuhan fisik tersebut sesuai dengan porsinya, itu dapat ditoleransi.

Yang menjadi permasalahan adalah sifat rakus manusia yang menginginkan lebih dari apa yang sekadar dia perlukan. Mereka berambisi untuk memuaskan keinginan-keinginan nafsunya. Keinginan yang sejatinya tidak berkaitan sama sekali dengan upaya survival kehidupannya. Tetapi lebih merupakan kebutuhan mewah yang apabila ditinggalkan tidak akan memengaruhi kehidupannya. Sifat rakus ini terkadang mendorong manusia untuk melakukan apapun demi memenuhi keinginannya itu. Bahkan dengan cara-cara yang ilegal sekalipun, serta mengorbankan manusia lainnya.

Sifat menginginkan lebih dari apa yang sekadar dibutuhkan yang ada pada manusia sebenarnya merupakan sifat alami yang telah ada dalam diri mereka secara naluri. Melalui sifat ini manusia dapat membangun sebuah peradaban dengan berbagai elemen-elemennya yang dapat menunjang kehidupannya. Akan tetapi aktualisasi sifat ini dalam porsi yang terlalu dominan akan menimbulkan ekses negatif.

Sifat rakus ini semakin mendapat momentumnya dalam kehidupan modern seperti sekarang ini. Trend faham yang berorientasi pada materi dan kapital yang menguasai zaman ini turut menambah suburnya sifat ini. Panggung kehidupan sehari-hari yang dipenuhi dengan iklan berbagai produk dan merek menggoda mereka untuk dapat memilikinya. Setiap derap langkah kehidupan mereka selalu diliputi oleh pesan-pesan persuasif dan provokatif yang menjelma dalam bentuk iklan melalui berbagai media: televisi, radio, koran, majalah, baliho, spanduk, poster, dan lain-lain.

Kecenderungan kehidupan yang mengutamakan materi akan mendorong mereka untuk menghimpun sebanyak-banyaknya kapital untuk ditanam. Tujuannya adalah mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya atas modal yang telah ditanam tersebut. Tak peduli apakah mereka melakukan itu dengan cara menginjak-injak dan mengeksploitasi orang lain. Atau dengan mengeksploitasi sumber daya alam secara massif tanpa memedulikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan. Inilah pemandangan yang nyata-nyata kita lihat sekarang ini. Penulis menyebutnya sebagai kapitalisme eksploitatif, sebuah paham yang tengah merajai zaman kita.

Diakui atau tidak, kapitalisme sedikit demi sedikit menggerogoti nilai-nilai moral dan kemanusiaan kita. Tanpa disadari, paham kapital telah mendegradasi dimensi kemanusiaan yang ada dalam diri kita. Bagi pemilik modal, kemunduran sifat kemanusiaan ini menjelma dalam bentuk eksploitasi mereka terhadap manusia dan alam secara massal. Sedangkan bagi konsumen, degradasi sifat-sifat kemanusiaan itu mewujud pada keinginan yang berlebihan atas produk-produk mewah yang ditawarkan oleh para pemodal tersebut. Mendadak kita menjadi makhluk yang hanya mementingkan materi, tanpa menghargai sifat dasar kemanusiaan kita. Kapitalisme telah menutup hati nurani kita yang sejatinya lembut, penuh cinta dan kasih, serta jauh dari sifat-sifat yang merusak.

Kembali kepada Hati Nurani
Hati nurani merupakan elemen terpenting kemanusiaan yang dibekalkan oleh Tuhan kepada kita. Dialah yang memosisikan manusia pada derajat kemanusiaan yang lebih tinggi dibanding makhluk lainnya. Tanpanya, manusia tak lebih berharga daripada makhluk lain di bumi ini. Karena itu, seyogyanya kita mendengarkan dan menuruti apa yang dikatakan oleh hati nurani. Sebab, dengan fitrah yang dimilikinya, dia akan selalu berkata dan memerintahkan kepada kebenaran. Kapan dan di manapun, dia adalah “kompas” yang dianugrahkan oleh Tuhan kepada manusia untuk mengarahkan mereka kepada kebenaran. Dia adalah petunjuk universal manusia agar mereka berperilaku secara lurus.

Bagaimanapun, hati nurani akan berfungsi dengan baik apabila kita senantiasa mengasahnya dengan menuruti apa yang dia perintahkan. Semakin intens kita mengikutinya, semakin tajam dan peka diri kita terhadap kebenaran. Dengan demikian, dia dapat berperan sebagai kontrol bagi diri kita. Sebaliknya, apabila kita terbiasa mengabaikan suara hati nurani, maka itu akan membentuk kita menjadi manusia yang abai terhadap kebenaran.

Sejatinya setiap manusia dibekali dengan hati nurani. Hanya saja, tidak seluruh manusia mengikuti arahan yang diberikan oleh hati nurani tersebut. Orang yang mengikuti perkataan hati nurani akan cenderung bersifat lembut, penuh cinta dan kasih, serta mudah tersentuh oleh kebenaran. Sedangkan orang yang mengabaikan hati nurani akan cencerung bersifat sadis, keras kepala, dan anti terhadap kebenaran. Semoga kita termasuk orang-orang yang mendengarkan dan mengikuti perkataan hati nurani. [*]

Tidak ada komentar: