Menolak Kapitalisme Eksploitatif

Di tengah pusaran arus globalisasi yang melanda dunia sekarang ini, kapitalisme kian kukuh menegakkan otoritasnya. Paham yang berorientasi pada materi (kapital/ modal) ini semakin kuat menancapkan kuku-kukunya di setiap ruang kehidupan masyarakat modern. Kapitalisme tengah merajai zaman kita.

Maka, kapan dan di manapun kita akan menyaksikan produk-produk kapitalis berkelebatan di depan mata kita. Mereka menjelma dalam bentuk iklan di berbagai media: televisi, radio, koran, majalah, baliho, spanduk, dan lain-lain. Dengan cara-cara yang provokatif, mereka selalu mendorong kita untuk memiliki dan memanfaatkan barang-barang produksi mereka.

Para pemodal tidak memedulikan apakah produk yang mereka tawarkan itu penting atau tidak bagi konsumen. Mereka giat menciptakan barang-barang baru dan menawarkannya kepada konsumen dengan cara semenarik mungkin. Konsumen dibuat merasa butuh terhadap barang-barang tersebut, meskipun sebenarnya mereka tidak begitu memerlukannya. Tujuannya adalah untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari konsumen yang membeli barang-barang tersebut.

Kapitalisme Eksploitatif
Nalar kapitalisme bekerja dengan asas mendapatkan laba sebanyak-banyaknya dengan modal sekecil mungkin. Atas dasar pemikiran itulah para pemodal seringkali mengabaikan nilai-nilai moral dan etika dalam aktivitas produksi mereka. Mereka mengeksploitasi sumber daya yang ada secara berlebihan.

Dalam praktiknya, mereka menguras sumber daya alam secara besar-besaran tanpa memedulikan dampak yang ditimbulkannya. Mereka juga memaksa karyawan untuk bekerja siang-malam tanpa upah yang memadai. Hak-hak buruh banyak yang tidak dipenuhi secara wajar. Para pemodal hanya mau tenaga mereka, namun tidak bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka. Inilah yang penulis sebut sebagai kapitalisme eksploitatif.

Selayaknya, paham kapitalisme yang eksploitatif ini harus ditanggalkan dari panggung kehidupan umat manusia. Sebab, paham ini telah mengabaikan kodrat penciptaan manusia dan alam. Paham ini tidak menghargai manusia secara utuh. Dia tidak meletakkan harkat dan martabat kemanusiaan pada posisi yang semestinya. Manusia—dalam hal ini karyawan—tak ubahnya dianggap sebagai mesin-mesin mekanis yang siap dijalankan siang-malam untuk proses produksi. Kelayakan hidup mereka nihil dari pikiran para pemodal.

Dalam konteks demikian, menurut pandangan Karl Marx, buruh telah mengalami keterasingan dalam diri dan pekerjaannya sendiri (Suseno, 2005:123). Pekerjaan yang mereka lakukan dijalani dengan terpaksa sebagai sebuah rutinitas. Mereka tidak menikmati pekerjaan dan hasil kerja mereka. Meskipun demikian mereka tetap menjalankannya demi memenuhi kebutuhan pokok. Mereka terpaksa dan dipaksa bekerja untuk memperkaya tuan-tuan mereka, tidak untuk kesejahteraan mereka sendiri.

Dalam beberapa kasus yang lain, perilaku para kapitalis juga mengabaikan keseimbangan dan kelestarian alam. Mereka mengeruk kekayaan yang ada di dalamnya tanpa bertanggung jawab atas dampak negatif yang ditimbulkannya. Kerusakan alam yang terjadi selama ini selalu disebabkan oleh limbah-limbah perusahaan industri, lubang-lubang galian bekas pertambangan, penggundulan hutan secara liar untuk area industri, dan lain-lain. Namun, para pemilik kapital sebagai pengelola usaha tersebut tutup mata terhadap dampak-dampak negatif atas kegiatan produksi mereka.

Alam yang seharusnya dijaga dan dilestarikan, oleh para pemodal malah dijadikan sebagai obyek eksploitasi dan perusakan. Di pikiran mereka, masa depan lingkungan tak diperhitungkan. Mereka hanya memikirkan bagaimana mengambil dari alam sebanyak mungkin, tanpa berupaya memberikan imbal-balik secara sepadan dalam bentuk pelestarian. Keberlangsungan kehidupan alam pun menjadi terancam karenanya. Pada gilirannya, manusia juga yang turut merasakan dampak negatif kerusakan alam ini.

Ekonomi Berbasis Kemanusiaan-Lingkungan
Sudah saatnya para pemilik kapital menghentikan “penjajahan” terhadap buruh. Telah begitu banyak buruh yang menderita akibat ulah tuan-tuan mereka yang tidak memerhatikan penghidupan mereka secara layak. Buruh seharusnya diperlakukan secara manusiawi: bekerja hanya pada jam-jam kerja secara wajar, mendapatkan gaji cukup, mendapatkan jaminan sosial, dan diberikan kebebasan berserikat.

Para pemilik modal hendaknya memandang karyawan sebagai rekan kerja yang membantu mereka dalam menjalankan usaha. Dengan demikian hubungan yang terjalin di antara mereka bukanlah relasi atasan-bawahan, melainkan rekan sederajat yang saling menguntungkan. Sebab pada kenyataannya keuntungan yang dinikmati oleh para pemodal sejatinya merupakan hasil kerja karyawan. Maka selayaknya mereka mendapatkan imbalan yang sepadan dengan hasil kerja mereka.

Kesadaran akan kelestarian alam seharusnya juga dimiliki oleh para pengelola usaha. Bencana alam yang datang bertubi-bertubi selama ini cukuplah menjadi pelajaran bagi kita untuk tidak memperlakukan alam secara semena-mena. Pemanasan global yang tengah mengancam dunia hendaknya menjadi peringatan bagi kita untuk memperlakukan alam secara lebih ramah.

Kegiatan ekonomi pada dasarnya dilakukan untuk kebahagiaan manusia. Karenanya segala bentuk aktivitas produksi yang menyengsarakan mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung, harus dieliminasi. [*]

Tidak ada komentar: