Kuliah Tasawuf (5): Antara Syari'at dan Hakikat


SYARIAT ADALAH cara formal untuk melaksanakan peribadatan kepada Allah yang dirujuk kepada Al-Qur'an, sebagai tujuan utama penciptaan manusia (al-Qur'an 51: 56). Sedangkan hakikat, yakni tasawuf, seperti yang diisyaratkan dalam definisi ihsan, "Engkau beribadah seakan-akan engkau melihat Allah, dan seandainya engkau tidak melihat-Nya, niscaya Ia melihatmu," merupakan pelengkap dari ibadah tersebut. Oleh karena itu, antara syari’at dan hakikat atau tarekat seharusnya tidak boleh dipisahkan, karena kalau dipisahkan hal tersebut akan menimbulkan masalah.
Syariat yang dilakukan tanpa memperhatikan unsur hakikat seperti sebuah bangunan kosong yang belum dihias. Sedangkan hakikat tanpa syariat akan seperti perhiasan tanpa ada yang dihias, sehingga akan menjadi tumpukan perhiasan yang acak. Oleh karena itu, sepatutnyalah kedua aspek penting dari agama kita ini tidak dilakukan dan dihayati secara terpisah, tetapi dipandang sebagai dua hal yang saling melengkapi dan dijalankan secara seimbang. Penekanan yang berat sebelah pada salah satu aspek dari keduanya hanya akan melahirkan ahli-ahli eksoterik formal (ahl al-zhahir) yang tidak bisa mengapresiasi dimensi spiritual dari ibadah formal mereka, atau sebaliknya ahli esoterik yang sama sekali meninggalkan ibadah-ibadah formal yang merupakan kewajiban bagi setiap individual Muslim.
Sebenarnya, jika kita perhatikan tokoh-tokoh utama tasawuf, seperti Syaikh Junayd al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali, mereka selalu berusaha dalam karya-karya utama mereka untuk menyelaraskan kedua aspek penting dari agama kita tersebut. Dalam kitab Ihya 'Ulum al-Din, misalnya, al-Ghazali bukan hanya membicarakan keutamaan-keutamaan spiritualitas dan nilai-nilai luhur Islam, tetapi bahkan, dalam bab-bab pertama kitab tersebut, beliau mendiskusikan aspek-aspek formal ibadah, seperti yang dilakukan oleh para fuqaha dalam kitab-kitab fikih mereka, seperti tentang thaharah (bersuci), salat, zakat, puasa, dan haji ke baitullah. Hanya saja, kepada setiap ibadah formal tersebut ditambahkan makna batin atau spiritual dengan segala macam keutamaannya.
Selain al-Ghazali, al-Hujwiri, dalam bukunya Kasyf al-Mahjub, juga melakukan hal yang sama, yakni mencoba menyatukan syariat dan hakikat, di mana ia memberikan makna dan penafsiran sufistik terhadap berbagai ritual keagamaan. Maka beliau menafsirkan haji, misalnya, sebagai perjalanan dari dunia indera ke lubuk hati kita yang terdalam. Tentu saja beliau tidak menghilangkan praktek lahiriah ritual tersebut, tetapi menambahkan makna yang tersembunyi dari haji dan ibadah-ibadah yang umumnya dipraktikkan secara fisik saja.
Memakai baju ihram di miqat, misalnya, bagi para sufi tidak hanya sekadar mengganti pakaian biasa dengan baju ihram, yang memang harus dilakukan secara fisik, tetapi juga sarat dengan makna spiritual di balik itu. Pencampakan baju yang biasa kita pakai, bermakna. menghilangkan emblem-emblem atau topeng-topeng, kalau kita mau, yang biasa menghiasi pakaian kita sehari-hari, seperti perhiasan emas dan perak yang menunjukkan status sosio-ekonomi tertentu, atau pangkat dan lencana yang menunjukkan status atau kedudukan orang yang menyandangnya. Dengan menanggalkan baju biasa itu, maka diharapkan pengaruh harta dan kedudukan pada saat berhaji itu terhadap kita bisa terhapus. Demikian juga, dengan mengenakan baju ihram yang putih dan sederhana, kita diingatkan akan fitrah kita yang suci dan pandangan Tuhan yang tidak membeda-bedakan manusia menurut harta, keturunan atau kedudukannya, tetapi pada kesucian hati dan ketakwaannya.
Demikian jaga dengan sa’i (lari-lari kecil) dari shafa ke marwah dan sebaliknya sebanyak tujuh kali, memiliki makna agar kita, setelah kembali ke negeri kita masing-masing, terbiasa bertolak dari kesucian (shafa) dan kebajikan (marwah) dan sebaliknya dari kebajikan menuju kepada kesucian. Dan jika kita berhasil melaksanakannya, maka akan besarlah pengaruh dan manfaat yang bisa kita petik dari ibadah haji tersebut. Dengan demikian, haji kita, insya Allah, akan menjadi haji yang mabrur. Tentu saja selain ibadah haji, al-Hujwiri dan sufi-sufi lainnya membahas tentang makna spiritual dari ibadah-ibadah lainnya seperti puasa, shalat dan lain-lain. Tetapi tanpa harus mengupas satu per satu di sini, kita hanya ingin menyimpulkan bahwa tasawuf bukanlah sesuatu yang harus dipandang sebagai bid'ah dalam kaitannya dengan ibadah/ syariat, tetapi sebagai pelengkap atau hiasan bagi ibadah-ibadah formal kita sehari-hari, yang sering kita rasakan telah kehilangan makna batin dan spiritualnya. [*]
Artikel berseri "Kuliah Tasawuf" pada rubrik "Tasawuf - Filsafat" inimerupakan tulisan Prof. Mulyadhi Kartanegara. Beliau adalah dosen pada Islamic College for Advanced Studies (ICAS) - Paramadina, Jakarta, dan merupakan pakar di bidang tasawuf dan filsafat Islam.

Tidak ada komentar: