Kuliah Tasawuf (4): Tarekat
SEPERTI SYARIAT, tarekat
(thariqah) berarti jalan, hanya saja yang pertama jalan raya (road), maka yang
terakhir adalah jalan kecil (path). Tarekat kemudian dipahami sebagai jalan
spiritual yang ditempuh oleh seorang sufi. Selain tarekat, sering juga digunakan
kata "suluk," yang artinya juga perjalanan spiritual, dan pelakunya
disebut "salik." Tetapi kata tarekat juga dipakai untuk merujuk
sebuah keleompok persaudaraan atau ordo spiritual yang biasanya didirikan oleh
seorang sufi besar, seperti 'Abd al-Qadir al-Jilani, Sadzili, Jalal al-Din Rumi
dll. Nama tarekat tersebut biasanya dinisbahkan kepada nama-nama pendirinya,
atau julukan yang diberikan oleh para pengikutnya. Karena itu, kita mengenal
tarekat Qadiriyyah, Sadziliyyah, atau Mawlawiyyah. Mawlawiyyah sendiri dinisbahkan kepada julukan
"Mawlana" atau guru kami, yang diberikan murid-murid Rumi kepadanya.
Sebagai jalan spiritual, tarekat ditempuh oleh para sufi atau zahid di
sepanjang zaman. Setiap orang yang menempuhnya mungkin mempunyai pengalaman
yang berbeda-beda. Sekalipun tujuannya sama, yaitu menuju atau mendekati Tuhan
atau bersatu dengan-Nya, baik dalam arti majazi atau hakiki, dalam apa yang
disebut sebagai kesatuan mistik (ittihad). Meskipun begitu, para ahli sepakat
untuk memilah-milah tahapan perjalanan spiritual ini ke dalam stasiun-stasiun
(maqamat) dan keadaan-keadaan (ahwal). Perbedaan antara keduanya adalah,
sementara maqamat dicapai melalui usaha yang sadar dan sistematis, ahwal adalah
keadaan-keadaan jiwa (mental states) yang datang secara spontan, sebagai hadiah
dari Tuhan, dan umumnya berlangsung secara relatif cepat dan tidak bertahan
lama.
Selain pengalaman spiritual yang berbeda-beda dari seorang sufi dalam
tarekatnya, intensitas dan kecepatan perjalanannya pun bisa berbeda-beda. Ali
Nadwi, misalnya, menggambarkan perjalanan mistik Rumi seperti burung rajawali
yang dengan sayapnya yang besar bisa dengan cepat tiba di tangan sang raja,
sedangkan perjalanan spiritual Farid al-Din 'Aththar, digambarkan merayap
seperti semut. Rumi sendiri misalnya, mengatakan, "Seorang sufi bermikraj
ke Arasy dalam sekejap, sang zahid memerlukan sebulan untuk sehari
perjalanan."
Selanjutnya, walaupun jalan
spiritual itu objektif, dalam arti betul-betul dialami orang-orang suci
sepanjang zaman, tetapi pengalaman masing-masing sufi dalam menempuh perjalanan
tersebut bersifat subjektif. Dan karena sifat pengalaman mereka subjektif, maka
tidak mungkin kita harapkan adanya keseragaman ungkapan atau nama-nama tahapan
(maqamat) atau keadaan-keadaan (ahwal) dari semua sufi yang mengalaminya. Oleh
karena itu wajar kalau para penulis berbeda, misalnya, dalam menamakan
maqam-maqam ataupun urutannya. Al-Kalabadzi, misalnya, menyebut maqam-maqam
tersebut sebagai berikut: taubat, zuhud, sabar, faqr, tawaddu', taqwa,
tawakkal, ridha, mahabbah, dan makrifat. Sementara al-Ghazal merumuskan: taubat, sabar,
faqr, zuhud, tawakkal, ridha, mahabbah, ma'rifat dan ridha. Sedangkan al-Qusyairi:
taubat, wara', zuhud, tawakkal, sabar dan ridha.
Selain perjalanan itu digambarkan secara datar dan dalam bentuk prosa seperti
tersebut di atas, ada juga beberapa sufi yang melukiskan perjalanan spiritual
mereka secara simbolis dan dalam bentuk puisi. Farid al-Din 'Aththar, misalnya,
menggambarkan perjalan spiritualnya dengan indah dalam karya puitisnya Manthiq
al-Thayr sebagai perjalanan panjang yang melelahkan dari burung-burung (yang
melambangkan jiwa manusia) dalam rangka menemui raja mereka yang bernama
Simurgh. Untuk mencapainya, mereka harus melampaui tujuh lembah: lembah
pencarian, cinta, makrifat, perpisahan, persatuan, keheranan, kefakiran dan
kehancuran (fana').
Ibn 'Arabi, di tempat lain, melukiskan perjalanan atau
pengalaman spiritualnya secara rinci tanpa berusaha memberikan nama pada mereka,
tetapi menceritakannya secara gamblang perjalanan manusia dari tingkat
inderawi, menuju tingkat imajinal, dari dunia imaginal menuju dunia murni
spiritual. Sekurangnya ada dua puluh tahap perjalanan yang digambarkan Ibn
'Arabi dalam kitabnya Risalat al-Anwar fi ma Yumnah Shahib al-Halwa min
al-Asrar, sebelum akhirnya manusia kembali ke dunia inderawi.
Apa yang telah kita simak sampai
di sini tentang tarekat adalah tarekat dalam dalam arti perjalanan spiritual,
yang juga biasa disebut suluk. Tapi ada pengertian lain dari tarekat, yaitu
tarekat dalam arti persaudaraan atau ordo spiritual. Pengertian inilah yang
sebenarnya lebih dikenal di kalangan luas dari terma ini, seperti tarekat
Naqshabandiyyah, Sanusiyyah, Qadiriyyah, dan sebagainya. Tentu bukan tempatnya
dalam bab Muqaddimah ini untuk membahas satu per satu tarekat tersebut, namun
satu hal dari tarekat ini yang perlu dikemukakan: metode spiritual dan peranan
guru (mursyid). Karena tasawuf pada hakikatnya tidak bisa dipelajari dari buku,
maka latihan spiritual dalam bentuk "dzikr" atau "sama' "
adalah cara yang efektif untuk memahami tasawuf lewat pengalaman batin.
Daripada mengajari murid-muridnya tentang ajaran atau dotrin-doktrin tasawuf,
seorang mursyid akan mengajar murid-muridnya untuk melakukan perjalanan
spiritual bersama menuju Tuhan dengan cara (metode) yag pernah dialami dan
dikuasai oleh sang mursyid sendiri. Dengan begitu sang mursyid berharap bahwa
apa yang telah ia alami melalui metode tersebut juga akan dialami
murid-muridnya. Metode ini harus dikuti dengan ketat dan disiplin yang tinggi
dan dengan ketaatan penuh kepada petunjuk sang mursyid, karena ia yakin bahwa
dengan cara itulah maka pengalaman seorang mursyid akan sesuai seperti yang
direncanakan..
Dalam proses pembimbingan ini, sang murid tidak boleh protes atau membangkang,
bahkan dikatakan bahwa sang murid harus bertindak seolah-olah mayat di tangan
orang yang memandikannya. Boleh saja membangkang, tapi, kalau begitu, sang
mursyid tidak bertanggung jawab atas kegagalan sang murid yang membangkan tadi
dalam perjalanan spiritualnya, dan tidak ada jaminan bahwa usahanya itu akan
berhasil. Jadi inilah kiranya peranan Mursyid terhadap muridnya, yakni memastikan
bahwa segala prosedur metode dijalankan sepenuhnya oleh sang murid. Baru
setelah segalanya dijalankan dengan sebaik-baiknya, maka seorang murid boleh
berharap sukses dalam usahanya itu.[*]
Artikel berseri "Kuliah Tasawuf" pada rubrik "Tasawuf - Filsafat" ini merupakan tulisan Prof. Mulyadhi Kartanegara.
Beliau adalah dosen pada Islamic College for Advanced Studies (ICAS) -
Paramadina, Jakarta, dan merupakan pakar di bidang tasawuf dan filsafat
Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar