Kuliah Tasawuf (6): Tauhid Sufistik
TAUHID atau kesesaan Tuhan telah ditafsirkan secara
berbeda oleh para ahli. Karena itu, maka kita dapatkan tauhid dalam perspektif
teologis, seperti yang tercermin dalam konsep "tanzih al-shifat" kaum Mu'tazilah, yaitu tauhid dalam
perspektif filosofis yang menyatakan bahwa pada diri Tuhan, esensi dan
eksistensi adalah satu dan sama (identik). Demikian juga kita peroleh konsep
tauhid dalam perspektif sufistik. Yang terakhir inilah yang akan menjadi
perhatian utama kita dalam bagian ini.
Tidak seperti umumnya kita yang mengartikan kalimat "la ilaha illallah" sebagai "tiada Tuhan selain Allah," para sufi mengartikan kata "Ilah" sebagai realitas,
sehingga kalimat syahadat itu bermakna, "Tidak
ada realitas (haqiqah) yang sejati kecuali Allah." Dari sini mereka
memahami bahwa hanya Allah-lah yang real, yang hakiki, yang benar-benar ada
secara mutlak, sedangkan yang lainnya adalah semu dan nisbi. Ketika dikaitkan
dengan wujud, maka Tuhan adalah satu-satunya yang betul-betul ada; Dialah
Realitas Terakhir, yang berarti wujud yang paling sejati. Karena itu terdapat
identitas antara yang Realitas dengan Wujud. Ketika dikatakan Dia adalaha
Realitas, itu berarti Dia adalah satu-satunya yang wujud secara hakiki. Dalam
konteks inilah para sufi berbicara tentang kesatuan wujud (Wahdat al-Wujud) di mana dinyatakan bahwa tiada yang wujud selain
Allah.
Pernyataan tiada yang wujud kecuali Dia, bukanlah sekedar permainan kata-kata
atau basa-basi, tetapi betul-betuk dihayati dan diyakini sebagai suatu
kenyataan yang tidak dapat diragukan lagi. Bahkan dalam penghayatannya yang
terdalam, seorang sufi akan kehilangan kesadaran akan keberadaan dirinya. Ia
menafikan keberadaan dirinya. Inilah yang dimaksud dengan fana'. Setelah itu hanya kehadiran Tuhan-lah yang ia rasakan, dan
ia hidup dalam hadirat atau kehadiran-Nya. Inilah yang mereka sebut baqa', di mana seorang sufi hanya akan
merasakan keberadaan Tuhan sebagai satu-satunya wujud yang hakiki. Dalam
keadaan seperti inilah, al-Hallaj (w. 922 M.) menyatakan "Ana al-Haqq," yang berarti aku adalah Kebenaran Kreatif
(Tuhan). Inilah inti tauhid sufistik..
Tanpa mengetahui maksud dan latar belakang munculnya
pernyataan al-Hallaj di atas, salah paham terhadapnya sudah bisa dibayangkan.
Dalam kenyataan sejarah, al-Hallaj telah membayar pernyataannya itu dengan
nyawanya. Orang menuduhnya telah kafir karena pernyataannya itu, sedangkan
ucapannya itu ditafsirkan sebagai kesombongan yang tak terampunkan, karena ia
telah mengadakan klaim ketuhanan. Ia telah mengaku dirinya sebagai Tuhan.
Tapi orang-orang yang mengerti apa arti kata yang sesungguhnya dari ungkapan
tersebut, justeru akan melihat di dalamnya, sebuah ungkapan kerendahan hati (tawadhdhu'). Jalal al-Din Rumi (w.
1273), misalnya, menafsirkan pernyataan al-Hallaj tersebut dengan mengatakan, "Pernyataan aku Tuhan adalah pernyataan
yang paling rendah hati, karena dalam hal ini al-Hallaj menafikan wujud dirinya
yang nisbi di hadapan wujud Tuhan yang hakiki dan mutlak. Dalam pandangannya,
hanya dia yang benar-benar wujud, dalam arti wujud yang hakiki, yang
betul-betul ada, sedangkan wujud alam semesta ini adalah nisbi dan hanya
merupakan bayang-bayang dari-Nya.” Sebaliknya, pernyataan "aku
hamba" dan "Engkau tuan," dipandang oleh Rumi sebagai ungkapan yanag
justeru menyombongkan diri, karena dalam hal ini sang sufi telah mengafirmasi
wujudnya yang nisbi sebagai yang berhadap-hadapan dengan wujud yang mutlak,
padahal keberadaannya tidak berarti apa-apa di hadapan Wujud yang Mutlak
tersebut.
Pendangan tauhid para sufi yang seperti ini telah melahirkan konsep-konsep
wujud yang berbeda-beda, sekalipun jauh di lubuknya yang terdalam terdapat
kesatuan pengertian, kalau saja kita bisa melepaskan diri kita dari
perbedaan-perbedaan formalistik doktrin-doktrin tersebut. Dengan demikian maka
doktrin sufi yang kita kenal sebagai "ittihad"
(kesatuan mistik), di mana seorang manusia telah berhasil melalui perjalanannya
yang panjang bersatu dengan Tuhannya, atau doktrin "al-hulul" di mana Tuhan digambarkan mengambil tempat
dalam diri manusia, ataupun "wahdat
al-wujud" di mana diyakini adanya identitas ontologis antara manusia
dan Tuhan, pada dasarnya adalah sama.[*]
Artikel berseri "Kuliah
Tasawuf" pada rubrik "Tasawuf - Filsafat" ini merupakan tulisan Prof. Mulyadhi Kartanegara. Beliau adalah dosen pada Islamic College for Advanced Studies (ICAS) -
Paramadina, Jakarta, dan merupakan pakar di bidang tasawuf dan filsafat Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar