Meneladani Karakter Kepemimpinan Muhammad

12 RABIUL AWAL diperingati sebagai hari kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW. Sebagai pemimpin, dia dinilai telah berhasil membawa masyarakatnya ke dalam tatanan masyarakat sipil yang berperadaban tinggi. Karakter personal dan keterampilannya dalam memimpin masyarakat patut kita hadirkan dalam konteks keindonesiaan saat ini.

Semenjak masa mudanya dia dikenal sebagai orang yang kredibel dan memiliki integritas yang tinggi. Karenanya masyarakat Arab kala itu memberinya gelar al-Amin (yang tepercaya). Karena kredibilitas yang dimilikinya itu pula dia dipercaya untuk menengahi konflik antarsuku yang terjadi di kalangan masyarakat Makkah. Dia adalah tipe pemimpin yang mampu mengemban tugas dan tanggung jawab dengan baik, serta dapat berdiri di atas semua golongan.

Sikap ini juga yang dia terapkan terhadap penduduk Madinah tatkala dia berhijrah ke sana. Melalui Piagam Madinah yang dicetuskannya, warga Madinah yang terdiri dari berbagai suku dan agama dapat hidup berdampingan secara damai. Hak-hak sipil dihargai dan dijunjung tinggi, kebebasan dalam beragama dijamin. Piagam Madinah merupakan sebuah prestasi dan pencapaian yang sangat cemerlang dalam sejarah kepemimpinan Muhammad.

Satu hal lagi yang tidak dapat kita lepaskan dari pribadi Muhammad adalah kebersahajaannya. Dia adalah sosok pemimpin yang tidak tamak terhadap harta. Bahkan atas kebutuhan yang paling pokok pun—pakaian, makanan, dan tempat tinggal—dia memberikan teladan yang sangat sederhana.

Dikisahkan, pada suatu hari Umar ibn Khattab, salah seorang sahabatnya, melihat bekas-bekas pelepah pohon kurma pada pipi Nabi. Umar pun akhirnya mengetahui bahwa Nabi baru saja tidur beralaskan pelepah kurma. Umar trenyuh sekaligus kagum, bagaimana mungkin seorang pemimpin sebuah negara rela tidur hanya dengan beralaskan pelepah pohon kurma?

Dalam konteks Indonesia saat ini, kita memerlukan sosok pemimpin seperti Muhammad. Seorang pemimpin yang dapat dipercaya, adil, bijaksana, bersahaja, serta mampu menenteramkan rakyatnya. Sebaliknya, kita tidak membutuhkan pemimpin yang lupa rakyat, pemimpin yang hanya mementingkan golongannya, atau pemimpin yang hanya menumpuk kekayaan dengan menghalalkan segala cara.

Gambaran tersebut tidaklah mengada-ada jika kita mengamati situasi perpolitikan nasional saat ini. Dalam "drama" Pansus Bank Century yang diberitakan secara luas selama tiga bulan terakhir ini, kita melihat banyak fakta dan keterangan terkait bail out terhadap Bank Century. Keterangan yang disampaikan oleh para saksi yang dipanggil telah dapat memberikan gambaran secara jelas kepada kita atas kronologi bail out senilai Rp. 6,7 triliun tersebut. Selanjutnya, pasti kita dapat menyimpulkan siapa yang bertanggung jawab atas pengambilan kebijakan tersebut.

Namun golongan tertentu yang merasa kepentinganya terusik mengelak dengan berbagai cara. Ini menimbulkan kesan bahwa mereka menghalang-halangi proses politik terhadap kasus ini. Seharusnya mereka membiarkan proses itu berjalan sesuai dengan aturan, tanpa mengintervensinya. Kemudian, biarlah mekanisme hukum yang akan memutuskan bersalah atau tidaknya orang-orang yang mengambil kebijakan bail out tersebut.

Pemimpin yang Bersahaja
Karakter yang bersahaja pada diri Muhammad selayaknya juga menjadi teladan bagi para pemimpin negeri ini. Di tengah maraknya budaya korupsi di setiap level birokrasi kita, resep kesahajaan merupakan sebuah solusi. Pemimpin, baik yang ada di lembaga eksekutif maupun legislatif, hendaknya tidak tamak dan hanya berorientasi pada harta dan kekayaan. Konsep “apa yang bisa saya dapatkan dari jabatan saya” yang melekat pada pejabat publik seharusnya diganti dengan “apa yang bisa saya berikan kepada masyarakat melalui jabatan saya”. Pengabdian dan pelayanan publik yang baik seharusnya menjadi motif dasar atas jabatan yang mereka duduki.

Namun selama ini kita menyaksikan kebalikannya. Banyaknya kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menimpa pejabat kita menunjukkan bahwa ketamakan masih mendominasi mereka. Kepentingan masyarakat dinomorsekiankan setelah hasrat-hasrat individual dan kelompok mereka terpenuhi. Perilaku yang mereka praktikkan hanya berlandaskan atas motif-motif ekonomis untuk kepentingan pribadi, bukan sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat. Ini tentu menjadi preseden buruk bagi kehidupan bernegara kita di masa mendatang.

Dalam konteks demikian, keteladanan yang telah diberikan oleh Muhammad dalam hal kepemimpinan di atas layak dijadikan sebagai cermin bagi para pemimpin negeri ini. Terkait dengan itu, peringatan maulid kali ini merupakan momentum yang sangat bagus untuk mengimplementasikan keteladanan tersebut. Dengan demikian kita dapat menangguk hikmah perayaan kelahiran Sang Nabi. Bukan sekadar perayaan yang hanya bersifat seremonial, yang tanpa meninggalkan makna dan implikasi apapun. [*]

Artikel ini ditulis dalam rangka memeringati kelahiran (maulid) Nabi Muhammad S.A.W. yang tahun ini jatuh pada tanggal 26 Februari.

1 komentar:

Salam Sukses Bahagia mengatakan...

semoga kita bisa benar-benar meneladani kanjeng nabi. mas sudh hampi 2 tahun kok tulisannya baru 24 judul to, ayo semangat. salam kenal dari saya www.salamsuksesbahagia.blogspot.com