Konsep Kesalehan Multikultural ala Abdul munir Mulkhan



IDENTITAS BUKU: Penulis: Abdul Munir Mulkhan; Judul Buku: Kesalehan Multikultural: Ber-Islam Secara Autentik-Kontekstual di Aras Peradaban Global; Editor: Muhammad Navis Rahman S.F.; Desain Cover: Panangan Sae; Setting/ Layout: Ayah Navis; Penerbit: Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah; Cetakan: Pertama, Mei 2005; Jumlah Halaman: viii + 236; Ukuran Buku: 14 x 20 cm.

REVIEW: Secara ideal, agama hadir di muka bumi ini untuk menjadi petunjuk dan solusi bagi manusia atas pelbagai persoalan yang ada dalam kehidupan mereka. Agama tidak hanya menetapkan visi kehidupan yang jauh ke depan, yakni akhirat, tetapi juga membimbing manusia dalam menapaki kehidupan mereka di sini dan saat ini, yakni kehidupan dunia. Namun, peran ideal agama atas kemanusiaan tersebut seringkali absen dalam keseharian mereka. Agama seringkali disempitkan maknanya hanya sebatas aturan dan tata cara ritual penyembahan manusia kepada Tuhan. Dengan demikian, di tengah kehidupan yang global dan modern seperti sekarang ini, agama seakan tak berdaya menjawab tantangan-tantangan yang ditimbulkan oleh kemajuan zaman. Jika agama adalah solusi kehidupan saat ini dan mendatang, lantas mengapa dia terkesan mandul dalam menghadapi persoalan-persoalan aktual manusia? Kemudian, apa yang bisa dilakukan oleh agama dalam menjawab tantangan modernitas dan globalisasi dengan pelbagai kompleksitas persoalannya? Buku ini berusaha mengemukakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu.

Ide kesalehan multikultural yang dikemukakan oleh penulis dalam buku ini dimaksudkan sebagai tindakan-tindakan positif dan bermanfaat yang bersumber dari keyakinan beragama dan diperuntukkan bagi seluruh manusia tanpa memandang etnis, kebangsaan, paham keagamaan, bahkan kepemelukan suatu agama itu sendiri. Sebab, di satu sisi agama senantiasa menganjurkan cinta kasih, kerukunan, dan perdamaian di antara umat manusia. Di sisi lain, perbedaan budaya, etnis, suku bangsa, dan agama merupakan kenyataan sejarah yang tak bisa dihindari. Tak selayaknya pesan-pesan kebaikan yang disampaikan oleh agama tersebut hanya menyentuh kepada agama dan golongan tertentu. Karena ini berarti agama mengabaikan realita sejarah (sunnatullah) yang seharusnya tak luput dari perhatiannya. Dengan demikian agama telah berbelok dari substansi ajarannya. Dalam konteks inilah gagasan yang disampaikan oleh penulis menjadi sangat relevan dan signifikan. Agama, menurut penulis, harus bisa mengatasi permasalahan manusia di mana pun dan kapan pun. Sebab, pada hakekatnya pesan-pesan kebaikan agama bersifat universal yang tak memandang waktu, tempat, etnisitas, kesukuan, budaya, bahkan institusi agama itu sendiri.

Buku ini merupakan kumpulan makalah yang disampaikan oleh penulis di pelbagai seminar, serta beberapa artikel yang dimuat di media massa. Untuk memetakan ide-ide yang mempunyai konsen pembahasan yang sama, penulis mengklasifikasi 18 tulisan yang ada dalam buku ini ke dalam tiga bagian. Bagian pertama berisi enam tulisan yang bertemakan pencarian autentisitas iman di tengah masyarakat plural. Enam tulisan di bagian kedua membahas tentang menghadang kemungkaran sosial, menggagas teologi kontekstual. Sedangkan enam tulisan terakhir mempunyai tema besar menghadapi tantangan global, mengusung dakwah dan pendidikan multikultural.

Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi beberapa dasawarsa terakhir ini telah membuka kesadaran baru umat manusia terhadap wilayah dan dimensi-dimensi kehidupan mereka, termasuk dalam hal keagamaan. Sebuah tradisi keagamaan mau tak mau harus bergumul dan bersinggungan dengan tradisi keagamaan lainnya. Dalam konteks inilah kesadaran baru tentang multikultural dan keberagaman suatu umat perlu dihadirkan. Maka, doktrin agama klasik yang cenderung eksklusif dan konservatif, menurut penulis, perlu ditafsir ulang sesuai dengan kondisi zaman yang melingkupinya. Keagamaan, dalam hal ini, haruslah dilihat dan dipahami secara kritis serta menempatkannya sebagai proses pencarian kebaikan dan kebenaran yang tak pernah usai (hlm. 41). Keberimanan semestinya ditempatkan sebagai kesadaran universal dari pengalaman kemanusiaan yang sebagian merupakan hasil dialog dengan lingkungan sosial dan alam, dan sebagian lagi sebagai sebuah legacy dari garis nenek moyang. Dari sikap kritis ini bisa dikembangkan suatu tafsir dan paham keagamaan yang membuka peluang pencapaian dunia peradaban baru yang dicerahi iman bagi kemanusiaan universal yang melampaui batas-batas kebudayaan dan pengalaman keagamaan personal.
Agama diciptakan oleh Tuhan semata-mata untuk kebaikan dan kepentingan umat manusia. Dia menurunkn wahyu berupa Islam sebagai al-din dengan maksud agar manusia bisa tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah kemanusiaannya secara utuh. Inilah menurut penulis arti dan fungsi manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi dengan tugas utamanya memakmurkan dan menyemarakkan kehidupan di bumi. Karena itulah, segala aktivitas yang berkenaan dengan agama hendaknya ditujukan untuk mewujudkan kebaikan-kebaikan terhadap sesama manusia. Kedekatan pada Tuhan atau kesalehan religius sudah semestinya tidak hanya diukur dari kemampuan dan prestasi spiritual seseorang, tetapi juga perlu dilihat dari kemampuan dan pencapaiannya dalam menyelesaikan pelbagai persoalan kehidupan duniawi (hlm. 53). Konsep kesalehan dan ketuhanan yang selama ini bersifat transenden dan jauh dari keseharian hidup manusia sudah saatnya didefinisi ulang sebagai rumusan ketuhanan yang lebih humanis dan menyejarah.

Dalam artikel terakhir di bagian pertama, penulis menekankan pentingnya memberikan ruang pemahaman keagamaan yang variatif, tidak tunggal, dan beragam. Semua pemahaman agama yang ada tak seharusnya dipertentangkan dan diklaim sebagai penghuni neraka. Setiap aliran dalam Islam tak tertutup kemungkinan mencapai kebenaran dan memperoleh surganya masing-masing. Ini berarti, menurut penulis, ada beragam surga sesuai media dan cara mencapainya yang seluruhnya berada di dalam tataran yang sama (hlm. 81). Bukankah aliran-aliran tersebut pada dasarnya juga mengakui Tuhan yang sama, yakni Allah? Di sisi lain,adanya aliran-aliran Islam yang tersebar di pelbagai belahan dunia seharusnya bisa dijadikan sebagai jejaring yang dapat menampung dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan umat Muslim khususnya, dan seluruh manusia pada umumnya. Penulis menganjurkan adanya jaringan global Islam dan agama-agama lain bagi pembangunan peradaban dan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia yang lebih baik. Agenda kemanusiaan bersama itulah yang seharusnya dikedepankan dengan mengesampingkan etnisitas, nasionalisme, kultural, maupun kepemelukan agama tertentu.

Pada bagian kedua, penulis mengemukakan banyak permasalahan sosial—terutama yang terjadi di Indonesia seperti korupsi, ketimpangan sosial, dan permasalahan lingkungan—dan menyayangkan minimnya peran agama untuk mengatasinya. Agama dan etika, menurut penulis, seakan sudah tak berdaya menghadapi nafsu hedonistik dan keserakahan manusia yang seringkali mengakibatkan kerusakan terhadap manusia lainnya. Oleh karena itu, agama perlu ditafsir dan dipahami ulang dengan melihat kondisi-kondisi mutakhir yang terjadi secara kontekstual, sehingga pada akhirnya agama mampu menjalankan perannya semula dan kembali kepada inti ajarannya untuk melakukan perbaikan (reformasi) masyarakat dan umat manusia.

Mengenai korupsi, penulis menganggapnya bukan sekadar tindakan pidana yang merugikan negara, menyebabkan kerusakan sistem sosial, ekonomi, dan politik, tetapi dia juga meusak sistem nilai dan moral agama. Menurut penulis, penyelewengan kekuasaan dan kewenangan bagi pengumpulan kekayaan pribadi atau kelompok bukan hanya mengkhianati amanat rakyat dan menghancurkan sistem demokrasi, tetapi dia juga merupakan pengkhianatan terhadap kemanusiaan dan pembangkangan atas ketuhanan atau kufur. Korupsi menjadi indikasi kekafiran kepada Tuhan ketika si pelaku sebenarnya tidak terlalu percaya bahwa Tuhan melihat apa yang mereka lakukan, dan tidak mempercayai bahwa Tuhan akan membalas setiap tindakan yang dilakukan manusia  (hlm. 108). Perlu pemaknaan secara kontekstual atas ajaran-ajaran agama yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat. Dengan demikian diharapkan agama dapat berperan secara efektif untuk menjamin praktik kehidupan yang adil, jujur, terbuka, dan sekaligus sebagai sistem kontrol diri dan kontrol sosial.

Menurut penulis, wahyu Tuhan yang diturunkan di bumi ada dua bentuk, yakni wahyu tekstual yang melembaga sebagai Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dan wahyu Tuhan berupa sunnatullah yang berlaku bedasarkan fenomena-fenomena alam dan sosial. Manusia dalam hal ini bebas untuk memahami dan menafsirkan kedua wahyu Tuhan tersebut tanpa memandang keberagamaannya secara formal. Sebab, dalam Al-Qur’an sendiri manusia diperintahkan oleh Tuhan untuk senantiasa mengamati, meneliti, memahami, dan merenungkan ayat-ayat Tuhan, baik yang tekstual maupun yang berupa fenomena alam. Dengan pengamatan dan perenungan itu diharapkan dapat lahir kesadaran akan kekuasaan Tuhan, serta lahirnya temuan-temuan baru yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Dalam artikel keempat di bagian dua, penulis memberikan perhatian yang sangat besar terhadap kaum tertindas (mustadh’afin). Dalam hal ini, Islam sebagai agama yang membela kaum tertindas sangat menekankan pentingnya menolong dan membantu mereka. Lahirnya Islam sendiri diwarnai dengan perjuangan membela orang-orang Muslim Makkah dari penindasan yang dilakukan oleh para pembesar Quraisy. Menurut penulis, tindakan paling awal dari risalah kenabian Muhammad adalah pembebasan masyarakat dari struktur sosial, ekonomi, dan politik yang feodalis dan kapitalistik untuk diletakkan pada strutur baru berdasarkan keesaan Tuhan (tauhid) tanpa hegemoni dari apapun dan siapapun (hlm. 135). Karena itulah pada masa-masa ini ayat-ayat yang turun kebanyakan concern pada ketuhanan dan pembebasan sosial. Misalnya surat Al-Ma’un yang mengecam keras bagi mereka yang tidak memerhatikan orang miskin dan anak yatim. Bahkan mereka ini dianggap sebagai pengkhianat agama (yukadzdzibu bi al-din).

Kemudian pada bagian ketiga yang mengusung tema besar pendidikan multikultural, penulis mengelaborasi pentingnya pendidikan agama yang mengedepankan kesadaran akan pluralitas dalam kehidupan dan menghargai perbedaan yang ada. Perbedaan dalam agama-agama tak sepatutnya ditonjolkan, tetapi titik persamaanlah yang seharusnya dijadikan sebagai simpul yang akan menyatukan perbedaan tersebut. Karena itulah konsep keimanan, menurut penulis, seharusnya tak dipahami sebagai sekadar percaya pada adanya Tuhan dengan segala sifat-Nya, tetapi juga bukti nyata kesediaan menerima pengakuan orang lain atas Tuhan dengan cara mereka sendiri. Kesalehan seharusnya tak sekadar dilihat dari ritual formal, tetapi juga kemanfaatan hidupnya bagi orang lain. Dalam hal ini, pendidikan memegang peranan yang signifikan. Pendidikan seharusnya tak melulu difokuskan pada wilayah kognisi, tetapi ditekankan pada penyadaran umat atas keberadaan Tuhan dan pengayaan pengalaman berbuat baik yang dirasakan manfaatnya bagi semua orang dengan beragam agama dan paham keagamaan. Dengan cara itulah kesalehan dari pemeluk agama-agama yang berbeda akan mungkin membuat manusia menjadi lebih saling memahami, menghormati, dan pada akhirnya saling menerima keberadaan masing-masing (hlm. 164).

Penulis sangat intens dalam menekankan pentingnya pemahaman keagamaan yang inklusif. Inklusifisme dalam beragama meniscayakan seseorang untuk menerima perbedaan agama yang ada sebagai sebuah kenyataan sejarah, serta memahami bahwa Tuhan yang menjadi obyek pengabdian dan peribadatan semua agama adalah mengacu pada Tuhan yang sama. Menurut penulis, Tuhan bagi pemeluk agama tertentu juga merupakan Tuhan yang diyakini oleh pemeluk agama lain. Demikian juga dengan surga Tuhan yang ingin dicapai di akhir kehidupan, adalah surga yang diyakini oleh pemeluk semua agama (hlm. 188). Persoalan siapa Tuhan dan apa agama yang dipeluk manusia sebenarnya telah final dan tak perlu diperdebatkan lagi. Permasalahan bersama yang perlu dicarikan solusinya saat ini adalah bagaimana membebaskan manusia dari kemiskinan, kebodohan, dan ketertindasan, bagaimana meningkatkan kualitas kehidupan manusia dengan lebih baik, serta bagaimana menciptakan kerukunan dan perdamaian antarumat manusia.

Dalam dua artikel terakhir di bagian ketiga, penulis menggagas ide tentang perlunya dakwah kultural yang bisa diterapkan di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Menurut penulis, dakwah kultural akan menyajikan Islam dalam beragam menu yang berbeda bagi masyarakat dengan kondisi budaya yang berbeda pula. Bagi masyarakat pedesaan misalnya, atau masyarakat profesional perkotaan, lebih cocok dijamu dengan tema-tema tentang tasawuf dan spiritualitas. Sedangkan bagi kalangan abangan, dakwah lebih mungkin untuk dilakukan dengan menu minimalis melalui spiritualisasi atau sufistikasi. Dakwah kultural ini sebenarnya merupakan penegasan kembali fungsi dan arti hakiki dari dakwah yang dilakukan berdasarkan kondisi obyektif umat. Sebab, pada hakekatnya dakwah ialah mengubah dan mengembangkan kehidupan umat secara bertahap. Dakwah kultural, dengan demikian, adalah pengakuan dan penghormatan setiap perubahan yang dilalui seseorang atau masyarakat sebagai tahapan-tahapan keislaman mereka (hlm. 225). Konsep dakwah seperti ini merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Al-Qur’an misalnya, dalam mengharamkan minuman keras tidak melakukan secara langsung, tetapi tahap demi tahap secara gradual. Hanya dengan cara seperti itulah Islam bisa diterima dengan baik oleh masyarakat. [*]

Tidak ada komentar: