DALAM Islam,
asketisme mempunyai pengertian khusus. Asketisme bukanlah kependetaan atau
terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi ia adalah hikmah pemahaman yang
membuat para penganutnya mempunyai pandangan khusus, di mana mereka tetap
bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai
kecenderungan hati mereka, serta tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya.
Abu al-'Ala
'Afifi berpendapat bahwa ada empat faktor yang mengembangkan asketisme dalam
Islam. Pertama, ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Kedua, revolusi
rohaniah kaum Muslimin terhadap sistem sosio-politik yang berlaku. Ketiga,
dampak asketisme Masehi. Keempat, penentangan terhadap fiqih dan kalam.
Namun
menurut pendapat penulis buku ini, hanya ada dua faktor utama yang membuat
berkembangnya asketisme dalam Islam, yaitu Al-Qur'an dan As-sunnah, serta
kondisi-kondisi sosio-politik pada dua abad pertama Hijriyah, terutama konflik
yang terjadi setelah akhir masa Khalifah Utsman ibn 'Affan. Menurut para asketis
angkatan pertama, asketisme dalam Islam tidak keluar dari landasan-landasan
pengertian yang telah dikemukakan di atas. Timbul dan tersebar luasnya
gerakan asketisme pada abad pertama Hijriyah adalah akibat kericuhan politik
dan perubahan sosial.
Aliran-aliran
Asketisme
Gerakan
asketisme Islam yang tersebar luas pada abad pertama dam kedua Hijriyah terdiri
dari berbagai aliran, yaitu:
Aliran Madinah
Aliran Madinah lebih cenderung pada pemikiran
angkatan pertama kaum Muslimin (salaf)
dan berpegang teguh pada asketisme serta kerendah-hatian Nabi. Selain itu, aliran ini tidak
begitu terpengaruh oleh perubahan-perubahan sosial yang berlangsung pada masa
Dinasti Umayah. Prinsip-prinsip mereka tidak berubah sekalipun mendapat tekanan
dari penguasa Bani Umayah. Dengan begitu, asketisme aliran ini tetap bercorak
murni Islam dan konsisten pada ajaran-ajaran Islam.
Aliran
Bashrah
Corak yang menonjol dari asketis Bashrah adalah
rasa takut yang berlebih-lebihan. Di Bashrah, para sufi terkenal
berlebih-lebihan dalam hal asketisme dan ibadah. Ini berbeda dari apa
yang terjadi di kota-kota lain. Menurut Ibnu Taymiyyah, hal yang begini karena adanya kompetisi antara mereka dengan asketis
Kufah. Masih menurut Ibnu Taymiyah, persoalan mistis, di mana terjadi penambahan
dalam ibadah dan seluk-beluknya, adalah berasal dari Bashrah. Salah
seorang tokoh Sufi yang terkenal pada masa itu adalah Hasan
al-Bashri. (hal.75)
Aliran Kufah
Menurut Louis Massignon, aliran Kufah berasal dari Yaman.
Aliran ini bercorak idealistis, menyukai hal-hal aneh dalam nahwu, hal-hal
imagi dalam puisi, dan harfiyah dalam hadits. Dalam hal aqidah, mereka cenderung pada aliran Syi'ah dan Raja'iyah.
Dan ini bukanlah hal yang aneh, mengingat aliran Syi'ah pertama kali muncul di
Kufah.
Aliran Mesir
Sejak penaklukan Mesir, sejumlah sahabat telah
memasuki kawasan itu, misalnya 'Amru bin al-Ash dan Abdullah bin 'Amr bin
Al-Ash yang terkenal dengan kezuhudannya. Dalam kenyataannya, gerakan asketisme
Mesir pada abad pertama dan kedua Hijriyah belum mendapatkan kajian yang cukup.
Menurut R.A. Nicholson, sebagian asketis generasi mutakhir lebih dekat pada
tasawuf, namun mereka tetap tidak keluar dari ruang lingkup asketisme. Sebab,
pada abad pertama dan kedua Hijriyah tidak seorang pun bisa membedakan asketisme
dengan tasawuf atau memisahkan keduanya.
Di antara para asketis yang terkadang dinyatakan sebagai angkatan pertama
para sufi adalah al-Fudhail ibn Iyadh, Dawud al-Thah, Hasan al-Bishri dan Rabi’ah
al-Adawiyah. Rabi’ah
al-Adawiyah merintis aliran asketisme dalam Islam berdasarkan cinta kepada
Allah. Sementara Hasan al-Bashri merintis aliran asketisme dalam Islam
berdasarkan rasa takut kepada Allah. [*]
Artikel ini
disarikan dari buku “Sufi dari
Zaman ke Zaman: Suatu Pengantar tentang Tasawuf,” yang
ditulis oleh Dr. Abu al-Wafa' al-Ghanimi al-Taftazani. Buku ini merupakan
terjemahan dari judul asli “Al-Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islamiy.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar