IMAM ats-Tsa’labi kembali menjelaskan
bahwa setelah segenggam tanah diambil maka bumi pun menangis merasakan
kehilangan. Lalu Allah Swt. berfirman padanya, “Sungguh suatu saat nanti Aku
kan kembalikan lagi apa yang telah Kuambil darimu.” Hal ini sebagaimana firman
Allah dalam QS. Thaha ayat 55, “Dari bumi (tanah) itulah Kami jadikan kamu dan
kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan
kamu pada kali yang lain.”
Diutuslah Malaikat Izrail As. oleh Allah Swt.
agar segenggam tanah itu diletakkan di pintu surga. Kemudian Allah mengutus
Malaikat Penjaga Surga, yaitu Ridhwan, agar dari segenggam tanah itu dijadikan
adonan dengan dicampur air dari Bengawan Tasnim. Lalu Allah Swt. mengutus
Jibril As. agar mendatangkan segumpal tanah yang putih, yaitu hati atau
intisari bumi. Dan dari itulah Allah menciptakan para nabi. Kemudian Allah
mencampur tanah tersebut dengan air sehingga menjadi adonan yang besar.
Disebutkan dalam sebuah syair, “Wahai yang
mengadukan kesusahan. Tinggallah ia dan tunggulah solusi baginya. Waktumu terus
berputar dari masa ke masa. Jangan kau tentang jika saat mengeruh, karena
sesungguhnya kamu tercipta dari paduan air dan tanah.”
Setelah menjadi adonan, ia dibiarkan selama 40
tahun sehingga menjadi tanah yang keras. Kemudian dibiarkan lagi selama 40
tahun sehingga menjadi seperti batu bata. Kemudian baru dibentuk jasad lalu
diletakkan di jalan yang mana para malaikat biasa melewatinya saat mau naik
atau turun. Di situ juga dibiarkan selama 40 tahun. Allah Swt. berfirman dalam
QS. al-Insan ayat 1, “Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa,
sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” Menafsirkan ayat ini, Ibnu Abbas Ra. berkata: “Yang dimaksud masa tersebut
adalah 40 tahun.”
Imam ats-Tsa’labi menjelaskan bahwa ketika
Allah Swt. membuat adonan pada tanah liat Adam, Ia menyiramnya dengan hujan
kesedihan dan kesusahan selama 40 tahun. Kemudian Ia menyiramkan hujan
kebahagiaan selama 1 tahun. Maka dari itu dalam kehidupan ini susah itu lebih
banyak daripada senang, dan sedih lebih banyak daripada bahagianya.
Dalam syair yang lainnya dikatakan, “Jika kamu
berfikir pada pergantian zaman, manakah yang lebih mengagumkan daripada ini?
(susah lebih banyak daripada senang). Datangnya kebahagiaan itu bisa ditimbang,
dan cobaan itu bisa ditakar dengan cetakan.” [*]
Kisah ini dikutip dari Fanspage “Dukung NU
Mendirikan TV NU Nusantara” yang disadur dari Kitab “Bada-i’ az-Zuhur fi
Waqa-i’ ad-Duhur” Karya Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abubakar As-Suyuthiy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar