Meninjau Kembali Sikap Keberagamaan Kita

Dalam sejarah peradaban umat manusia, telah banyak kekerasan dan peperangan yang didasarkan dan mengatasnamakan agama. Sebut saja misalnya perang salib dan beberapa kasus pengeboman yang terjadi di Indonesia maupun di belahan dunia lainnya. Yang terbaru dan masih hangat dalam pikiran kita adalah kasus pengeroyokan ormas Islam tertentu terhadap ormas lainnya. Kita mengenalnya sebagai “tragedi monas” yang terjadi pada tanggal 1 Juni tahun lalu.

Kita tentu prihatin menyaksikan saudara-saudara kita terlibat pertengkaran seperti itu. Kita sekaligus khawatir orang-orang yang memilih untuk tidak beragama akan semakin sinis dan apatis terhadap agama. Mungkin mereka akan berkata, orang-orang yang katanya mempunyai ajaran moral yang tinggi kok malah melakukan perbuatan yang tidak bermoral. Bukankah agama katanya mengajarkan perdamaian, kerukunan, dan kasih sayang. Tetapi mengapa umat beragama justru mempraktikkan perilaku yang beringas dan tak beradab.

Jika demikian, apa gunanya beragama, kalau pada akhirnya orang-orang yang memeluk agama pun berbuat tindakan yang amoral. Agama hanya menciptakan kekerasan, peperangan, dan teror! Demikianlah kira-kira komentar mereka menyaksikan umat beragama sibuk bertengkar sendiri-sendiri.

Sebagai orang yang beragama, kita tentu sangat prihatin atas itu semua. Kejadian-kejadian semacam itu seharusnya menggugah kesadaran kita dalam beragama. Sudahkah kita memahami dan mempraktikkan ajaran-ajaran agama kita dengan baik? Telahkah kita menghayati dan mengamalkan kalam Allah yang menganjurkan kita untuk berperilaku rahmatan li al-‘alamin (menyayangi semua mahluk)? Atau, sudahkah kita sesuai dengan anjuran Nabi yang menyatakan bahwa al-Muslimu man salima al-Muslimuna min lisanihi wa yadihi (orang Islam yang benar adalah apabila Muslim lainnya aman dari perkataan dan perbuatan buruknya)?

Mencermati kejadian-kejadian di atas, serentak kita akan menjawab: belum, kita belum sepenuhnya menghayati keberagamaan kita secara ideal. Maka diperlukan introspeksi dan otokritik ke dalam diri kita mengenai keberagamaan kita.

Dalam kehidupan masyarakat yang plural ini, sikap respek, tenggang rasa, dan empati antarkelompok masyarakat sangat diperlukan. Setiap kelompok hendaknya mengutamakan sikap kebersamaan daripada individualistis. Khususnya dalam beragama, klaim benar sendiri dan menganggap sesat atas agama lain hendaknya dieliminasi. Sebab, itu semua hanya akan menimbulkan ketidakharmonisan dan kesalahpahaman hubungan di antara mereka. Bahkan yang lebih parah dapat mengakibatkan kebencian dan permusuhan di antara mereka.

Masing-masing agama tentu mempunyai prinsip-prinsip kepercayaan dan tata-cara beribadat yang pastinya berbeda. Namun, terlepas dari perbedaan-perbedaan itu, bukankah semua agama menganjurkan perdamaian, kerukunan, dan kasih sayang kepada sesama manusia? Simpul persamaan itulah yang hendaknya kita perhatikan. Jika kita hanya sibuk menonjolkan perbedaan, mencari-cari cacat dan kesalahan, serta mengunggulkan agama kita atas yang lain, selamanya kita tidak akan dapat mewujudkannya. Sebab, masing-masing kelompok memandangnya dalam perspektif yang berbeda.

Maka sekali lagi, diperlukan sikap kedewasaan dalam beragama. Dalam ranah kehidupan sosial yang plural ini, perbedaan hendaknya kita tanggalkan, selanjutnya kita cari persamaan-persamaan di antara kita semua. Ini semua dilakukan demi tujuan mewujudkan perdamaian dan kerukunan dalam masyarakat. Siapa lagi yang akan melakukan itu semua jika bukan kita, umat beragama? Sebab, kita semua adalah one sky, one earth, one humankind, and one spirit. Sebab, kita semua bernaung di bawah langit yang sama, bukan? [*]

Tidak ada komentar: