Ngaji Sastra Bareng Gus Mus dan Ahmad Tohari


Pagi itu (Rabu, 25/3) para mahasiswa memadati ruangan Auditorium II Kampus III IAIN "Walisongo" Semarang. Mereka berduyun-duyun ke sana karena didorong rasa penasaran untuk menyaksikan dan mendengarkan ceramah dari para pembicara mashur. Ya, hari itu IAIN memang tengah mengadakan seminar budaya yang meghadirkan K.H. Mustofa Bisri atau Gus Mus.

Selain Gus Mus, pembicara yang hadir dalam seminar bertajuk "Guyub Rukun Bareng Gus Mus: Menebar Kedamaian lewat Sastra" itu adalah novelis Ahmad Tohari dan Drs. Redyanto Noor, M.Hum., pengajar pada Program Magister Ilmu Susastra Universitas Diponegoro (UNDIP).

Sebagai pembuka acara, panitia menyuguhkan happening art dari grup teater Fakultas Tariyah. Mereka mempersembahkan pembacaan dan musikalisasi puisi karya K.H. Mustofa Bisri. Acara kemudian dilanjutkan dengan penyampaian makalah dan "tausiyah" dari para pembicara. Oleh moderator Prasetyo Utomo, Redyanto Noor didaulat untuk berbicara pada kesempatan pertama. Dia mengulas tentang karya-karya K.H. Mustofa Bisri.

Dalam uraiannya, Redyanto mengungkapkan bahwa karya-karya Gus Mus selalu ditulis dalam bentuk yang bersahaja. "Jangan berharap Anda akan menemukan uraian-uraian yang bombastis dan berbunga-bunga dari karya-karya Gus Mus," katanya, sembari membacakan cuplikan beberapa cerpen dan puisi karangan Gus Mus.

Kebersahajaan karya-karya Gus Mus tersebut terletak pada tipografi, bunyi, diksi, imaji, dan maknanya. "Maka, membaca sastra karya Gus Mus kita tidak perlu mengernyitkan dahi berpikir keras, tidak perlu menahan nafas memusatkan konsentrasi, tidak perlu mengepalkan tinju menghimpun emosi," tulisnya dalam makalah berjudul Mentradisikan Kebersahajaan Gus Mus.

"Sastra karya Gus Mus," lanjutnya, "akan menjadikan kita berpandang bening, berperasa lembut, dan berpikir jernih."

Pembicara ke-dua adalah penulis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari. Tidak banyak uraian yang disampaikan oleh kang Tohari. Namun, ketika salah seorang mahasiswa menanyakan faktualitas novelnya, kang Tohari mengulas sedikit mengenai novel itu. "Semua karya sastra tidak terlepas dari nilai-nilai dan fakta-fakta sosial yang melingkupinya. Termasuk novel saya."

Kang Tohari lantas menyebut beberapa kejadian nyata yang melatarbelakangi novelnya. Di antaranya adalah peristiwa sosial-politik berdarah pada tahun 1965, dan "tragedi tempe bongkrek". Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, tragedi keracunan tempe bongkrek telah merenggut banyak nyawa penduduk Dukuh Paruk, termasuk kedua orang tua Srintil, tokoh utama dalam novel itu.

"Dalam karya sastra," kata kang Tohari melanjutkan, "janganlah memperdebatkan faktualitasnya. Tetapi unsur-unsur estetik dan pengaruh psikologis yang ditimbulkannyalah yang menjadi hal utama."

Setelah dua pembicara tampil, giliran Gus Mus menyampaikan "tausiyah"-nya. Beliau menguraikan panjang lebar mengenai karya-karya sastranya, prinsip yang dianut dalam bersastra, serta komentar tokoh-tokoh budaya dan sastra Indonesia atas karya-karyanya.

Dalam bersastra, Gus Mus mengibaratkan karya-karyanya sebagai "balsem", dan karya sastrawan-sastrawan lain sebagai "resep dokter". "Hanya orang-orang tertentu yang mengetahui dan menggunakan resep dokter. Namun, sekali digunakan bisa ces pleng. Balsem sebaliknya, digunakan oleh orang-orang kebanyakan dan untuk pelbagai penyakit. Maka khasiatnya pun sementara," katanya.

Menanggapi ulasan Redyanto mengenai kebersahajaan karya-karyanya, Gus Mus menjawab bahwa itu merupakan ungkapan lain untuk mengatakan tulisan-tulisannya "kurang canggih". "Apa yang diuraikan pak Redyanto mengenai karya saya sebenarnya merupakan sindiran secara halus. Yaitu bahwasanya karya-karya saya tidak canggih," katanya disambut gerrr para hadirin.

Gus Mus mengeluhkan para sahabatnya dari kalangan sastrawan dan budayawan yang tidak mau mengkritik sacara lugas karya-karyanya disebabkan "kekiaiannya". "Harusnya mereka menilai kekurangan-kekurangan dalam karya saya secara lugas, sehingga saya menjadi tahu mana kelemahannya. Dengan demikian saya dapat memperbaiki dan menyempurnakannya di masa mendatang."

Dalam menulis karya sastra, Gus Mus tergolong sastrawan yang "liberal" dan mbeling. Dia berusaha membebaskan karya-karyanya dari belenggu-belenggu tradisi, pakem, dan aliran-aliran dalam kesusastraan pada umumnya. Dia berpegang pada prinsip la ilaha illallah. Ini disebabkan bukan karena beliau tidak mengerti tentang ilmu kesusastraan, melainkan demi memudahkan penerimaan dan pemahaman bagi para pembaca.

"Buat apa membuat karya yang rumit dan berbelit-belit jika pembaca tidak memahaminya dengan baik. Karya sastra yang sederhana akan lebih mudah diterima dan dipahami oleh khalayak pembaca secara luas," ungkapnya.

Yah, demikianlah "mazhab" K.H. Mustofa Bisri dalam bersastra: bersahaja, "liberal", dan membumi. Seminar ditutup dengan pembacaan puisi oleh beliau. [*]

Tidak ada komentar: