Pendekatan Sastrawi dalam Kajian Al-Qur'an


SEBAGAI sebuah kitab suci, al-Qur’an diturunkan dengan tujuan membimbing manusia mencapai kebahagiaan mereka di dunia maupun di akhirat. Dari al-Qur’an muncul berbagai hukum, akidah, tuntunan moral, dan berbagai ajaran yang membimbing manusia menuju kepada jalan-Nya. Ajaran-ajaran yang bersumber dari al-Qur’an akan senantiasa dijadikan sebagai panutan oleh manusia sampai kapanpun. Dari masa ketika dia diturunkan hingga nanti ketika manusia dan seluruh alam raya musnah. Karena itu, ada ungkapan yang menyatakan bahwa al-Qur’an selalu cocok kapan dan di manapun (al-Quran shalih li kulli al-zaman wa al-makan).

Di sisi lain, al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw. Dengan mukjizat itu orang-orang Arab yang menentang Nabi telah ditantang oleh Allah untuk membuat yang semisal al-Qur’an. Namun tak sebuah karya pun yang dihasilkan oleh mereka dapat menandingi keagungan al-Qur’an. Padahal mereka adalah orang-orang yang ahli dalam bidang bahasa, sastra, dan syair pada masanya. Ketidakmampuan mereka ini semakin menegaskan kemukjizatan al-Qur’an.

Sebagai sebuah mukjizat, sangat tepat jika al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad di tengah masyarakat Arab ketika itu. Sebab, masyarakat Arab waktu itu mempunyai pengetahuan dan kreatifitas yang cukup maju dalam hal sastra, terutama syair. Syair ketika itu menjadi kebanggaan di antara mereka. Semakin mahir seseorang dalam menggubah syair, semakin tinggi pula kedudukan dan derajatnya di kalangan masyarakat Arab. Syair juga dijadikan sebagai alat propaganda untuk mengangkat citra seseorang atau suku lain, ataupun menyerang dan menyindir orang maupun suku lainnya.

Setiap periode tertentu suku-suku Arab mengadakan kompetisi syair. Syair yang terbaik akan digantung di dinding Kakbah agar dapat dilihat oleh orang banyak. Pengetahuan, pemahaman, kreatifitas, dan apresiasi orang Arab terhadap sastra yang begitu tinggi menjadi media yang sangat bagus bagi Nabi untuk menyampaikan dakwahnya melalui al-Qur’an.

Melalui lafal dan redaksi ayat-ayat al-Qur’an serta makna yang dikandungnya, banyak sekali orang—baik kawan maupun lawan—yang terpesona dan kagum. Misalnya Umar ibn Khaththab yang masuk Islam setelah takjub mendengar ayat-ayat al-Qur’an dibacakan oleh adiknya, Fathimah binti Khaththab. “Alangkah indahnya bacaan ini,” demikian dia mengungkapkan ketakjubannya atas al-Quran. Contoh-contoh tentang keterpesonaan masyarakat Arab terhadap al-Quran dapat dibaca di buku Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar karya M. Nurkholish Setiawan (halaman 74-81).

Data-data historis tersebut mengukuhkan pengaruh psikologis redaksi dan makna yang dikandung oleh al-Qur’an terhadap para pembaca dan pendengarnya. Dimensi sastrawi yang dikandung oleh al-Qur’an senantiasa menimbulkan efek psikologis yang sangat mendalam bagi para pembaca dan pendengarnya. Dan masyarakat Arab ketika itu benar-benar telah merasakan dan membuktikan kemukjizatannya. Aspek bahasa dan sastra ini menjadi unsur yang sangat dominan dalam memengaruhi orang Arab ketika itu. Maka tak heran apabila seorang pakar al-Qur’an kenamaan—M. Quraish Shihab—menganggap bahwa kemukjizatan al-Qur’an pertama-tama dan terutama terletak pada segi kebahasaannya. (M. Quraish Shihab, 2006:21)

Berangkat dari itu semua, kajian dan pendekatan sastrawi terhadap al-Qur’an menjadi sangat urgen untuk mengungkap segi-segi estetis yang terkandung dalam redaksi lafal-lafal al-Qur’an. Dengan kajian itu, kita akan dapat merasakan apa yang telah dirasakan oleh generasi-generasi awal umat Islam atas al-Qur’an, yaitu sebuah ketakjuban dan keterpesonaan yang timbul dari setiap rangkaian ayat-ayat al-Quran. Sebuah ketakjuban yang akhirnya menuntun mereka untuk secara tulus memeluk Islam dan senantiasa setia dengan ajaran-ajaran yang dibawanya.

Terkait dengan hal ini kita patut menghargai beberapa tokoh klasik maupun kontemporer yang telah berjasa meletakkan dasar-dasar dan mengembangkan metode—dan aplikasi—penafsiran jenis ini. Mereka antara lain adalah Mujahid ibn Jabbar, Qatadah, Ibn Jurayj, Muqatil ibn Sulayman, dll. Sedangkan dari kalangan ulama kontemporer kita dapat menyebutkan antara lain Muhammad ‘Abduh, Amin al-Khuli, Muhammad Ahmad Khalf Allah, Aisyah Abd al-Rahman (Bint al-Syathi’), Nashr Hamid Abu Zayd, dll.

Secara garis besar, kontribusi para mufasir klasik bisa dipetakan dalam tiga model karya besar, yaitu (1) tentang mikro-struktur al-Qur’an, (2) tentang stilistika al-Qur’an, dan (3) semantik al-Qur’an. Mikro-struktur dalam hal ini adalah sebuah instrumen untuk melacak, bagaimana makna al-Qur’an—melalui relasi-relasi struktural dalam kata maupun kalimat yang digunakannya—bisa dijelaskan berdasarkan hukum-hukum serta batas-batas kebahasaan. Sedangkan yang dimaksud dengan elemen stilistik adalah bagaimana keunikan gaya tutur yang dimiliki al-Qur’an bisa dipahami serta masuk dalam wilayah kebahasaan. Semantik di sini dimaksudkan bagaimana makna yang ada dalam teks bisa dilahirkan melalui alat bantu semantik. (Lihat, Al-Qur’an dalam Kesarjanaan Klasik dan Kontemporer: Keniscayaan Geisteswissenschaften, M. Nurkholish Setiawan, dalam Jurnal Studi al-Qur’an Vol. I, No. 1, Januari 2006).

Karya tentang mikro-struktur al-Qur’an adalah karya-karya yang banyak dicurahkan kepada aspek-aspek struktural, yakni perhatian karya kesarjanaan terhadap struktur kata dan kalimat yang dipakai oleh al-Qur’an semisal al-hadzf (eliptik), al-taqdim wa al-ta’khir (susun-balik), al-nafy (negasi), dsb. Misalnya penafsiran Mujahid terhadap Q.S. al-Kahfi (18:34) mengenai kata tsamar, “wa kana lahu tsmar, fa qala lishahibihi wa huwa yuhawiruhu ana aktsar minka malan wa waladan.” Kata tsamar yang semula bermakna dasar “buah” oleh Mujahid diartikan sebagai “emas dan perak.” Secara semantis antara “emas dan perak” di satu sisi, dengan “buah” di sisi lain tidak memiliki relasi medan semantik. Namun dalam konteks ayat ini Mujahid melakukan peralihan makna dari makna dasar ke makna relasional berdasarkan konteks pembicaraan ayat secara keseluruhan.

Terkait dengan stilistika al-Qur’an, yang menjadi sorotan utama di sini adalah kenyataan sejarah yang menunjukkan para sarjana Muslim klasik yang telah berusaha keras untuk mengungkap keindahan bahasa al-Qur’an (fashahah al-Qur’an) melalui cara pandang stilistik. Dalam kaitannya dengan al-Qur’an sebagai media komunikasi Tuhan dengan manusia, seorang sarjana Muslim terkenal—al-Jahizh—berkeyakinan bahwa terdapat hubungan yang dinamis antara pembaca dengan al-Qur’an. Itu tergambar dari dalalah yang dikandung al-Qur’an, pilihan katanya, serta prinsip “ekonomi kata.” Arti penting pilihan kata yang dipakai al-Qur’an dalam mengomunikasikan makna nampak ketika dia membandingkannya dengan syair-syair Arab Jahiliyah maupun Islam. Menurutnya, hanya al-Qur’an yang memiliki karakter tutur yang tidak pernah muspra.

Perbincangan mengenai semantik al-Qur’an—dalam bentuknya yang masih sederhana—telah disinggung jauh pada awal-awal Islam berkembang. Ini terkait dengan ucapan Ali ibn Abi Thalib mengenai al-Qur’an. Dia berkata, “Janganlah engkau berargumen menghadapi mereka dengan al-Qur’an, karena ia memiliki berbagai wajah, fa innahu hammalun dzi wujuh.”

Menurut Muqatil ibn Sulayman, setiap kata dalam al-Qur’an, di samping memiliki arti yang jelas, juga memiliki beberapa alternatif makna lainnya. Misalnya kata mawt yang memiliki makna dasar mati. Menurut Muqatil, dalam konteks pembicaraan suatu ayat, kata tersebut memiliki empat arti alternatif, yaitu (1) tetes yang belum dihidupkan, (2) manusia yang keimanannya salah, (3) tanah yang gersang dan tandus, dan (4) hilangnya ruh. Dalam konteks Q.S. al-Zumar (39:30) yang berbunyi, innaka mayyit wa innahum mayyitun, kata mati tersebut berarti mati yang tidak bisa dihidupkan kembali.

Di kalangan ulama kontemporer sendiri pembacaan atas al-Qur’an yang menggunakan perangkat-perangkat keilmuan bahasa dan sastra dianggap mutlak diperlukan. Muhammad ‘Abduh misalnya, dalam pengantar Tafsir al-Manar yang dikutip oleh muridnya, Rasyid Ridha, mengatakan bahwa penggunaan perangkat bahasa dan sastra Arab (i’rab, ma’ani, badi’, bayan) sangat diperlukan untuk menangkap pesan-pesan dan petunjuk (al-hidayah) al-Qur’an secara utuh.

Amin al-Khuli bahkan memanfaatkan teori sastra kontemporer dalam mengkaji teks al-Qur’an dengan menggabungkan kritik intrinsik (al-naqd al-dakhili) dan kritik ekstrinsik (al-naqd al-khariji). Baginya, dalam mengkaji al-Qur’an diperlukan dua perangkat analisis, yaitu kajian seputar al-Qur’an (dirasah ma hawla al-Qur’an) dan kajian atas teks al-Qur’an itu sendiri (dirasah ma fi al-Qur’an). Poin pertama meliputi studi atas setting sejarah, kultural, geografis, sosial, dan segala hal material dan spiritual yang melatarbelakangi bangsa Arab pada abad VII ketika al-Qur’an diturunkan. Selain itu, dalam mengkaji al-Qur’an, seorang mufasir juga dituntut untuk menguasai pembahasan-pembahasan yang tercakup dalam ‘ulum al-Qur’an.

Sedangkan kajian atas ma fi al-Qur’an menitikberatkan pada perhatian yang teliti terhadap struktur kata dan kalimat al-Qur’an, gaya bahasa, serta aspek-aspek lain yang menjadi bagian dari disiplin linguistik kebahasaan. Ini semua ditujukan untuk mengungkap aspek estetis yang terkandung dalam redaksi dan lafal ayat-ayat al-Qur’an. Maka diperlukan perangkat-perangkat bahasa dan sastra semisal gramatika dan retorika.

Nashr Hamid Abu Zayd berusaha menggabungkan ide Abduh dan al-Khuli. Al-Qur’an, menurut Abu Zayd, bagi masyarakat Muslim dipandang bukan sekedar sebagai fakta bahasa yang memiliki pesona, tetapi juga merupakan kitab suci yang berisi petunjuk dan tuntunan bagi manusia dalam menjalani hidup di dunia. Maka makna pertama yang muncul dalam al-Qur’an harus dapat dikaitkan dengan tuntutan perkembangan yang terjadi tanpa harus menyimpang dari pesan pertama tersebut. Karena itu dia membedakan antara ma’na dan maghza. Ma’na memiliki corak historis dan hanya dapat dicapai melalui pengetahuan yang cermat atas konteks internal (bahasa) dan konteks eksternal (sosio-kultural) teks al-Qur’an. Sedangkan maghza memiliki corak kontemporer. Artinya, dia merupakan hasil pembacaan suatu masa tertentu di luar masa ketika teks itu muncul. Dengan kata lain, ma’na relatif bersifat konstan, sedangkan maghza dinamis.

Demikianlah para sarjana Muslim berusaha memahami dan menerjemahkan pesan-pesan Allah yang tersurat dan tersirat dalam ayat-ayat al-Qur’an. Dan sepertinya penggunaan perangkat-perangkat keilmuan bahasa dan sastra memegang peranan yang sangat signifikan. Ini bukan saja berkembang di kalangan para ulama kontemporer, melainkan juga dapat dirunut kepada para mufasir klasik. Pengabaian atas aspek ini merupakan tindakan yang ceroboh dan a-historis. [*]

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Baaraka Llaahu fiik

akhmad mengatakan...

Menarik sekali.