Wisata Kultural-Religius Jawa Tengah


DULU, ketika masih tinggal di pesantren, kami sering mengadakan perjalanan ziarah ke makam para penyebar Islam di Pulau Jawa. Dalam perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan itu, kami mengunjungi dan napak tilas di peristirahatan terakhir para Wali yang lebih dikenal dengan sebutan Wali Sanga tersebut. Tiga di antara sembilan obyek makam Wali Sanga terletak di Jawa Tengah, yaitu makam Sunan Kalijaga di Demak, dan makam Sunan Muria serta Sunan Kudus di Kabupaten Kudus.

Tradisi ziarah seperti ini banyak dilakukan oleh masyarakat secara luas di daerah-daerah di Pulau Jawa, bahkan luar Jawa. Selain mengunjungi makam para Wali, perjalanan tersebut terkadang juga diselingi dengan singgah di obyek-obyek wisata yang dilalui. Praktis, perjalanan itu bukan semata-mata perjalanan religius—ziarah, melainkan juga perjalanan wisata.

Ziarah semacam ini biasanya dilakukan oleh masyarakat sepanjang tahun, dan mencapai puncaknya pada bulan Muharam atau Sura dan Sya’ban atau Ruwah. Ramainya peziarah di bulan Ruwah tentu tidak terlepas dari tradisi nyadran yang secara patuh dilakukan oleh masyarakat Jawa. Nyadran adalah tradisi mendoakan arwah leluhur dengan ritual dan perlengkapan tertentu.

Tradisi ini terkait dengan paham animisme-dinamisme yang disebut-sebut sebagai “agama” asli masyarakat Jawa (Khalim, 2008:45). Kepercayaan ini telah ada sebelum agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen datang ke Nusantara. Pasca-kehadiran Islam, tradisi nyadran dikemas sedemikian rupa sehingga tetap mengikuti ritual-ritual formal yang telah ada sebelumnya, namun disisipi dengan muatan teologis dan ritus-ritus tertentu yang diajarkan oleh Islam.

Fenomena ziarah yang ada di Pulau Jawa ini sejatinya merupakan fenomena religius-budaya yang khas. Religius, karena dia merupakan aktivitas yang mempergunakan simbol-simbol keagamaan dan mendasarkan legitimasi teologis pada agama tertentu—Islam. Budaya, karena telah menjadi aktivitas yang dilakukan secara massal dan terus-menerus oleh masyarakat di daerah tertentu.

Di sisi lain, fenomena ini menggambarkan sebuah akulturasi budaya yang ada di Indonesia. Akulturasi tersebut berjalan secara damai dan kompromistis. Satu budaya tidak mengeliminasi budaya yang telah ada sebelumnya. Akomodasi dilakukan, sehingga budaya baru hasil akulturasi menampung elemen-elemen budaya yang berfusi tersebut. Ini menunjukkan proses yang ditempuh para Wali dalam menyebarkan nilai-nilai baru mengedepankan kedamaian, kesantunan dan penghargaan terhadap nilai dan tradisi lokal yang telah terlebih dahulu ada. Dan ini sesuai dengan karakter dan kepribadian bangsa Indonesia.

Para Wali Sanga yang tersebar di Pulau Jawa hidup antara abad XV hingga XVI. Mereka banyak meninggalkan benda-benda arkeologis yang bernilai seni dan sejarah tinggi. Tinggalan-tinggalan arkeologis tersebut antara lain adalah makam, masjid, menara, pusaka, dan benda-benda bersejarah lainnya. Dalam konteks Jawa Tengah, kita bisa melihat peninggalan mereka antara lain berupa Masjid Agung, makam Sultan Fatah, dan makam Sunan Kalijaga di Demak; makam Sunan Muria, masjid, menara, serta makam Sunan Kudus di Kudus.

Tinggalan
Selain obyek tersebut, di Jawa Tengah juga terdapat tinggalan-tinggalan arkeologis dari tokoh-tokoh yang setara dengan Wali Sanga namun tidak termasuk kategori Wali Sanga. Tinggalan dimaksud antara lain adalah makam dan masjid Sultan Hadlirin-Ratu Kalinyamat di Mantingan, Jepara, makam dan masjid Syekh Ahmad Mutamakkin di Pati, serta makam dan masjid Sunan Tembayat di Klaten.

Menara Kudus merupakan sebuah mahakarya yang sarat akan nilai-nilai seni dan filosofi tinggi. Coraknya yang mirip dengan beberapa candi di Jawa dan Bali menggambarkan metode dakwah yang ditempuh Sunan Kudus bersifat kompromistis dan akomodatif terhadap budaya lokal yang telah ada. Demikian juga dengan Masjid Agung Demak yang menampung unsur kebudayaan Hindu Jawa dalam bentuk bangunannya yang runcing ke atas dan bersusun tiga tingkat. Motif-motif hiasan di dalam masjid tampaknya juga mempunyai keterkaitan dengan zaman Kerajaan Majapahit.

Bangunan-bangunan tersebut merupakan cagar budaya yang patut dijaga dan dilestarikan. Bukan saja sebagai sebuah peninggalan sejarah dari masyarakat yang hidup di masa lampau. Melainkan juga untuk menjaga keberlangsungan tradisi masyarakat yang beraktivitas di dalamnya. Sebuah tradisi yang merupakan identitas lokal dan ciri khas masyarakat di banyak daerah di Pulau Jawa.

Berziarah ke tempat-tempat tersebut ditujukan bukan hanya untuk meningkatkan spiritualitas kita di tengah hiruk-pikuk dan kegersangan kehidupan modern yang serba-materealistis seperti sekarang ini. Mengunjungi obyek-obyek tersebut juga dimaksudkan sebagai sarana pendidikan, pembelajaran, keteladanan, penghargaan, sekaligus dalam waktu yang sama sebagai rekreasi.

Dengan menziarahi tempat-tempat tersebut kita diingatkan akan kecerdasan para Wali dalam mengadopsi dan mengadaptasi budaya-budaya lokal untuk penyebaran nilai baru yang mereka tawarkan. Selain itu, kita juga akan tergugah untuk mengenang karya-karya mereka dalam bidang seni, budaya, dan sastra yang bernilai tinggi. Dalam ranah sastra misalnya, Sunan Kudus telah menciptakan tembang Maskumambang dan Mijil. Sunan Muria menciptakan tembang Sinom dan Kinanti. Sunan Kalijaga menganggit tembang Ilir-Ilir yang sangat mashur itu (Romli, 2006: 101-102; 121; 152).

Selain itu, Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai Wali yang teguh dalam menjaga, melestarikan, serta mengembangkan unsur-unsur budaya lokal masyarakat Jawa pra-Islam seperti wayang, gamelan, tembang, ukir, dan batik. Dia dikenal sebagai seniman yang serbabisa; pencipta tembang dan kidung, dalang dengan berbagai karya kreatifnya, serta pelestari seni karawitan Jawa.

Baik benda-benda arkeolgis maupun karya-karya dalam bidang sastra dan seni lainnya yang dihasilkan oleh para Wali tersebut merupakan warisan budaya yang sangat berharga. Maka dalam konteks inilah ziarah ke makam mereka dapat dimaknai sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran budaya terhadap karya-karya yang ditinggalkan oleh mereka. Pada gilirannya hal itu akan menimbulkan pengetahuan, pemahaman, dan apresiasi terhadap kekayaan budaya bangsa yang adiluhung.

Bagaimanapun, obyek-obyek tersebut merupakan aset sosial, budaya, dan ekonomi yang bernilai tinggi. Apabila dikelola secara benar tentu akan dapat mendatangkan manfaat yang besar kepada masyarakat. Dari sisi ekonomi misalnya, obyek-obyek ini akan membuka banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar sebagai penyedia makanan, minuman, maupun souvenir bagi para peziarah. Bagi agen-agen perjalanan dan pariwisata, kegiatan ziarah ini menjadi pasar yang bagus bagi jasa yang mereka sediakan.

Menjaga dan melestarikan aset-aset tersebut sama dengan melestarikan budaya bangsa yang tak ternilai harganya. Sebab, lewat warisan budaya itu kita bukan saja bisa melihat peradaban Indonesia di masa lampau; sebuah memori kolektif yang mengonstruksi kesadaran akan identitas kebangsaan kita. Lebih dari itu, diharapkan kita akan terpacu untuk meneladani spirit kreatif yang telah dicontohkan oleh nenek moyang bangsa kita. [*]

Artikel ini pernah dimuat di harian
SUARA MERDEKA edisi Rabu, 27 Mei 2009.