Shalat dan Konsekuensi-Konsekuensi yang Mengiringinya

Dalam agama Islam, shalat merupakan sebuah kewajiban yang sangat penting. Bahkan jenis ibadah ini menjadi ciri khas yang membedakan antara orang Muslim dengan yang bukan Muslim. Dalam sebuah hadits, Rasulullah S.A.W. bersabda, "Sesungguhnya janji antara kita dengan mereka adalah shalat. Maka barang siapa meninggalkan shalat, berarti dia telah mengingkari (perjanjian itu)." (H.R. Al-Nasa’i).

Pada hadits lain, beliau juga mengatakan bahwa shalat merupakan mikraj orang Mukmin. Ini berarti bahwa shalat adalah sarana bagi orang Mukmin untuk taqarrub (mendekat) dan sampai ke Hadirat Allah S.W.T. secara spiritual. Melalui shalat, kita seakan-akan berkomunikasi secara langsung dan menghadap kepada Allah.

Pada hakikatnya, shalat diperintahkan dengan tujuan untuk mengingatkan seorang hamba kepada Sang Khaliq. "Dan dirikanlah shalat untuk mengingatku." Demikian firman Allah dalam Q.S. Thaha ayat 14. Maka melalui berbagai gerakan, ucapan, dan kekhusyukan yang ada pada ritual shalat ini, diharapkan dapat menjadi media bagi kita untuk mengingat dan ber-munajat kepada-Nya.

Namun, apakah shalat bermakna hanya sebatas itu? Sekadar ritual formal yang tidak membawa implikasi positif terhadap lingkungan sekeliling kita? Jika demikian, alangkah sempitnya pemahaman keagamaan kita. Sebab, pada dasarnya agama Islam diturunkan sebagai manifestasi kasih sayang terhadap segala elemen yang ada di sekitar kita (rahmatan li al-'alamin), bukan hanya untuk individu saja.

Dalam surat al-‘Ankabut ayat 45 Allah mengatakan bahwa shalat akan dapat mencegah segala perbuatan keji dan mungkar. Ini berarti bahwa dengan shalat yang dilakukannya, seorang hamba seharusnya sanggup untuk menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan tercela yang bertentangan dengan hukum agama dan hukum yang berlaku di masyarakat. Bahkan dalam cakupan yang lebih luas, seorang hamba—dengan shalat yang dia kerjakan—seharusnya mampu mencegah orang lain melakukan hal-hal tercela tadi. Dengan ungkapan lain, shalat idealnya dapat berperan sebagai kontrol diri dan kontrol sosial bagi orang Mukmin.

Dalam ayat lain (Q.S. Al-Ma'un 1-7) Allah berfirman bahwa kecelakaan akan menimpa orang-orang yang shalat namun dia lalai akan makna dan hakikat yang terkandung dalam shalat itu sendiri. Shalat yang dia lakukan hanya untuk pamer belaka, tanpa menghayati makna dan pesan yang termuat di dalamnya, serta tidak memberikan dampak positif apapun dalam kehidupannya secara personal maupun dalam masyarakat.

Orang-orang seperti ini dicap oleh Allah sebagai “pendusta agama.” Pendusta agama, dalam surat tersebut, adalah orang-orang yang menghardik anak yatim, tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, lalai dalam shalatnya, riya, dan enggan membantu saudaranya.

Dari sini tampak bahwa shalat pada hakikatnya ditujukan bukan hanya untuk menjaga keharmonisan hubungan spiritual seorang hamba kepada Allah, melainkan juga harus dapat menjadi cambuk bagi seseorang untuk berbuat kebaikan dan memberantas perbuatan yang menyimpang dari rel agama dan sosial. Shalat membawa konsekuensi-konsekuensi yang harus dijalankan oleh seorang hamba.

Sudahkah kita melaksanakan konsekuensi-konsekuensi tersebut? Sudahkah shalat yang kita lakukan lima kali dalam sehari semalam itu memberikan implikasi positif terhadap diri dan masyarakat kita? Anda lebih tahu akan diri Anda. Wallahu a’lam bi al-shawab. [*]

Tidak ada komentar: