Menggagas Pondok Pesantren Plus


PONDOK pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan di Indonesia yang mempunyai usia cukup tua. Perguruan ini telah ada jauh sebelum lembaga-lembaga pendidikan modern ala Eropa disemaikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Salah satu teori tentang kemunculan pesantren di Nusantara—khususnya di Pulau Jawa—menyebutkan bahwa lembaga ini muncul pada akhir abad 18, dan mengalami kemajuan yang pesat pada abad ke 19 (Asrahah, 2002).

Terlepas dari perdebatan yang membahas tentang asal-usul pesantren, yang jelas lembaga ini—dalam bentuknya yang sekarang—menampung unsur-unsur kebudayaan pra-Islam di Nusantara (Hindu-Buddha) maupun sistem pendidikan Islam di Timur Tengah. Dengan demikian, pesantren merupakan lembaga pendidikan keislaman yang mempunyai akar tradisi yang cukup kuat di kalangan masyarakat Nusantara.

Karakteristik pesantren yang populis, menekankan kesahajaan, kaya akan literatur-literatur keislaman, dan membumi, membuatnya mudah diterima oleh masyarakat secara luas. Maka dapat kita saksikan sekarang pesantren-pesantren bertebaran secara merata di Indonesia, baik di pedesaan maupu di kota. Di Propinsi Jawa Tengah sendiri pondok pesantren menjamur di berbagai kabupaten. Sebut saja misalnya di Rembang, Kudus, Pati, Magelang, Solo, dll. Kota-kota tersebut merupakan pusat-pusat pendidikan keislaman berbasis pesantren.

Secara umum, pondok pesantren dikategorikan menjadi dua, yaitu pondok pesantren salaf dan pondok pesantren modern. Pesantren salaf mengajarkan ilmu-ilmu keislaman klasik yang terekam pada kitab-kitab kuning. Sedangkan pesantren modern adalah pesantren yang mengombinasikan keilmuan Islam klasik dan pengetahuan-pengetahuan modern. Pada pesantren modern, selain menyelenggarakan madrasah diniyah, juga membuka sekolah-sekolah formal yang diakui dan mengikuti kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah.

Bidang keilmuan yang diajarkan baik oleh pesantren salaf maupun modern adalah al-Qur'an, tata-bahasa dan sastra Arab (nahwu, sharf, balaghah), fiqih, tafsir, hadits, kalam, dll.

Untuk menunjang para santri agar mudah dalam memahami dan menyerap fan-fan keilmuan tersebut, seperangkat metode pembelajaran yang cukup unik diterapkan di pondok pesantren. Metode itu adalah bandongan dan sorogan. Bandongan adalah sebuah metode pembelajaran di mana seorang kiai atau ustadz membacakan sebuah kitab. Para santri mendengarkan dan menyimak keterangan kiai sembari memaknai kitab yang dibawanya. Sedangkan sorogan sebaliknya, satu persatu santri membaca dan memahami kitab tertentu di hadapan kiai. Sang kiai menyimak bacaan mereka sambil sesekali mengoreksi bacaan mereka jika ada yang salah.

Sederet nama-nama intelektual Islam yang lahir dari rahim pesantren adalah Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Komarudin Hidayat, Said Aqil Siradj, dll. Di Jawa Tengah, ulama-ulama yang berasal dari dan memelopori pengembangan pondok pesantren antara lain adalah K.H. Sahal Mahfudz, K.H. Mustofa Bisri, K.H. Maimun Zubair, K.H. Turaichan Adjhuri, K.H. Arwani, K.H. Muntaha Al-Hafidz, dll.

Peran dan sumbangan pondok pesantren beserta tokoh-tokoh hasil didikannya bukan hanya pada ranah intelektual dan kajian-kajian keislaman saja. Peran mereka juga merambah dalam bidang sosial, politik, budaya, dan pemberdayaan masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Dalam bidang politik, tokoh-tokoh pesantren turut menyumbangkan gagasannya terkait format dan idiologi negara Indonesia. Bahkan pada masa awal-awal reformasi tahun 1998, MPR RI memercayakan tampuk kekuasaan presiden pada salah satu putra terbaik pesantren, yakni K.H. Abdurrahman Wahid.

Dalam ranah kebudayaan, pondok pesantren juga turut mewarnai kekayaan kultural bangsa Indonesia. Nilai-nilai, kearifan, sistem kehidupan internal pesantren, serta tata-interaksi sosial pesantren dengan masyarakat sekitar, merupakan fenomena kultural yang khas yang dimiliki bangsa kita. Karenanya, Abdurrahman Wahid menyebut pondok pesantren—dengan segala sistem kehidupan lokalnya—sebagai sebuah sub-kultur.

Pesantren Plus
Pelajar yang menuntut ilmu di pondok pesantren rata-rata berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Bahkan di antara mereka ada juga yang hanya bermodal tekad untuk belajar di pesantren tanpa dibekali materi yang cukup oleh orang tua mereka. Untuk kasus yang terakhir ini tidak sulit ditemukan di pesantren-pesantren salaf. Bermodalkan keinginan kuat untuk belajar di pesantren, mereka berusaha mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari secara mandiri dengan bekerja sebisa mereka.

Kategori santri seperti ini biasanya yang tak dapat menikmati manisnya pendidikan di sekolah-sekolah formal. Faktor yang menjadi kendala adalah permasalahan ekonomi. Maka mereka pun akhirnya memilih mondok di pesantren sembari bekerja untuk memenuhi kebutuhan harian mereka. Jenis santri ini justru mempunyai keistimewaan tersendiri. Selain dapat menekuni keilmuan-keilmuan Islam di bangku pondok, mereka juga bisa mereguk pengalaman langsung dari kehidupan nyata yang banyak memberikan pelajaran berharga bagi masa depan mereka. Pondok pesantren menjadi sebuah lembaga pendidikan dan pembelajaran alternatif.

Bagaimanapun, setelah lulus dari pondok pesantren, para santri dituntut untuk dapat berperan dalam menyebarkan nilai-nilai yang telah mereka dapatkan dari pesantren. Bukan saja dalam hal dakwah keislaman ala pesantren, melainkan juga membina dan memberdayakan masyarakat di tempat asal mereka. Kewajiban moral ini telah tertanam kuat dalam alam bawah sadar para santri. Sehingga tiada kata lain setelah lulus dari pesantren selain berjuang di masyarakat.

Diperlukan keterampilan khusus untuk dapat melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawab mereka tersebut. Selain keilmuan yang memadai, juga dibutuhkan leadership skill yang bagus. Selain itu, untuk menunjang penghidupan mereka, pengetahuan dan praktik keterampilan tangan dan kewirausahaan sangat diperlukan. Untuk hal yang terakhir inilah tidak semua pondok pesantren menyediakan.

Merupakan sebuah terobosan yang bagus apabila pondok-pondok pesantren—khususnya di Jawa Tengah—memasukkan pelajaran keterampilan dan kewirausahaan dalam kurikulum mereka. Keterampilan ini disesuaikan dengan potensi lokal daerah di mana pesantren berkedudukan. Jenis keterampilan itu misalnya dalam bidang pertanian, perkebunan, perikanan, kerajinan tangan, dll.

Pelajaran kewirausahaan diperlukan agar santri bisa berdaya, mandiri, kreatif, dan bermental tangguh. Pada gilirannya, usaha yang dirintis oleh mereka nantinya diharapkan dapat memberikan manfaat secara ekonomis kepada masyarakat bimbingan mereka.

Dalam konteks demikian, peran pemerintah daerah—baik propinsi maupun kabupaten—sangat diharapkan. Peran dan dukungan pemerintah dapat diwujudkan misalnya dengan memberikan pelatihan-pelatihan keterampilan, bantuan modal untuk pengembangan usaha, maupun berupa asistensi dan pendampingan usaha secara kontinyu kepada pesantren dan para santrinya.

Jika ini semua dapat dilaksanakan dengan baik, maka sebuah pesantren akan mempunyai nilai tambah. Dengan demikian, pesantren bukan hanya mengajarkan keilmuan-keilmuan Islam. Melainkan juga mendidik para santrinya untuk mandiri secara ekonomi dalam masyarakat. Pada gilirannya, manfaatnya juga akan dirasakan oleh masyarakat. Inilah yang penulis sebut sebagai "pesantren plus." [*]

Tidak ada komentar: