PERKEMBANGAN ZAMAN meniscayakan adanya saling keterkaitan
dan ketergantungan antarmanusia dan bangsa di seluruh belahan dunia. Keterkaitan
dan ketergantungan itu terjadi dalam pelbagai bidang, antara lain perdagangan,
investasi, budaya, pariwisata, sains dan teknologi, politik dan pemerintahan,
serta bentuk-bentuk interaksi yang lain. Hubungan antarmanusia dan bengsa
tersebut semakin intens dengan adanya perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi yang kian canggih. Tak pelak, pertukaran informasi, budaya, gaya
hidup, serta nilai-nilai di antara pelbagai bangsa terjadi dengan amat cepat
dan mudah. Dengan itu semua, seakan sekat-sekat antarbangsa sudah tak ada lagi.
Seluruh masyarakat dunia melebur dalam sebuah nilai yang disebut dengan budaya
global. Kondisi inilah yang dinamakan dengan globalisasi.
Peleburan bangsa-bangsa ke dalam sebuah komunitas dan budaya
global tersebut tentu saja akan menyamarkan, bahkan menghilangkan, identitas
asli suatu bangsa. Dalam konteks bangsa Indonesia, adanya globalisasi
berpotensi menggilas identitas dan karakter asli bangsa Indonesia. Oleh karena
itu, diperlukan adanya filter untuk menyeleksi budaya luar mana yang bisa kita
terima ataupun kita tolak. Filter dimaksud adalah karakter dan kepribadian
bangsa. Dengan mengetahui karakter dan kepribadian bangsa secara mendalam akan
memungkinkan bagi kita untuk menjadikannya sebagai tolok ukur dalam menimbang
sebuah budaya yang datang dari luar.
Karakter dan kepribadian bangsa dapat kita gali dari kultur dan
budaya masyarakat Indonesia yang dipraktikkan sehari-hari secara turun-temurun.
Penulis mengelompokkannya menjadi dua karakter utama, yaitu kepercayaan
terhadap Tuhan, dan nilai-nilai kekeluargaan.
Mengenai hal pertama, sejak dulu Indonesia dikenal sebagai
bangsa yang berpegang teguh pada kepercayaan terhadap adanya kekuatan
supranatural yang ada di luar jangkauan manusia. Dengan adanya kepercayaan
inilah masyarakat Indonesia dengan mudah menerima agama-agama formal yang masuk
ke Nusantara. Kepercayaan terhadap agama berperan amat signifikan dalam
menentukan pandangan hidup dan perilaku masyarakat Indonesia. Meskipun agama
yang dianut oleh masyarakat Indonesia beragam, namun kesemuanya bermuara pada
hal yang sama, yaitu pembinaan hubungan yang baik terhadap Tuhan, sesama
manusia, dan alam sekitar. Agama, dengan demikian, memberikan spirit dan dorongan
kepada bangsa Indonesia untuk berperilaku secara positif demi kemaslahatan individu
dan masyarakat.
Terkait dengan kekeluargaan, Indonesia dikenal sebagai
bangsa yang menjunjung tinggi hubungan baik dan harmonis antarsesama manusia. Nilai-nilai
kekeluargaan yang dipatuhi oleh bangsa Indonesia antara lain termanifestasi dalam
bentuk: keramahtamahan, kerukunan, toleransi, empati, penuh kasih sayang,
gotong-royong, d.l.l. Sikap-sikap ini terpatri dengan sangat kokoh di kalangan masyarakat Indonesia.
Sebagai gambaran, dalam masyarakt Jawa kita mengenal sebuah istilah yang
dinamakan tepa sarira. Tepa sarira adalah sikap seseorang yang bisa
merasakan perasaan orang lain, sehingga timbul rasa empati kepada orang yang
bersangkutan. Selain itu, di desa-desa di Jawa kita juga bisa menemukan adanya kegiatan
gotong-royong yang masih lestari. Bentuk-bentuk gotong-royong yang sering
dilakukan antara lain membangun atau merenovasi rumah salah seorang tetangga
mereka, membantu dalam hajat perkawinan maupun sunatan, kerjasama membersihkan kampung,
d.l.l.
Di samping dua karakter utama tersebut, kita juga mempunyai tolok
ukur lain yang dapat kita gunakan sebagai parameter untuk menyeleksi budaya
luar yang masuk ke Indonesia. Tolok ukur dimaksud tak lain adalah dasar Negara kita,
yaitu Pancasila. Pancasila di satu sisi berfungsi sebagai landasan ideologi bangsa
Indonesia, yaitu sebuah cita-cita dan visi ke depan bangsa Indonesia. Mau jadi
apa dan akan diarahkan ke mana bangsa Indonesia di masa depan, semuanya
tercermin di dalam Pancasila.
Di sisi lain, Pancasila juga merupakan saripati dan
kristalisasi dari karakter dan kepribadian yang dimiliki oleh bangsa Indonesia
semenjak ratusan tahun yang lalu. Sila pertama misalnya, yakni Ketuhanan yang
Maha Esa, merupakan cerminan sikap bangsa Indonesia yang selalu percaya terhadap
adanya Tuhan. Ini sebagaimana telah disinggung di atas. Demikian juga sila
kedua, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab, merupakan rumusan bahwa bangsa Indonesia
menghargai dan menempatkan manusia pada derajat yang tinggi. Ini sejalan dengan
karakter utama kedua yang telah dibahas sebelumnya.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa dua karakter
utama bangsa Indonesia, yakni kepercayaan terhadap adanya Tuhan dan nilai-nilai
kekeluargaan, merupakan bentuk living tradition
(tradisi hidup) yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia secara turun-temurun
dan massif. Sedangkan Pancasila merupakan rumusan formal dan tertulis yang
diambil dan disarikan dari karakter, kepribadian, dan budaya bangsa, sekaligus sebagai
cita-cita bangsa di masa depan. Dengan demikian, jika kita ingin melihat bangsa
Indonesia seutuhnya, maka lihatlah kepada Pancasila.
Pancasila merupakan cerminan identitas dan jati diri bangsa Indonesia.
Maka selayaknya dia kita jadikan sebagai pedoman dan rujukan dalam menghadapi
derasnya arus globalisasi seperti sekarang ini. Jika kita berpegang tegug pada
Pancasila, tentu kita tak akan tersesat dalam rimba raya komunitas global yang multikultural.
Apabila kita mengidentifikasi diri secara kuat pada Pancasila, niscaya kita
mampu eksis di tengah maraknya budaya global. Pada saat itu, kita akan dapat
berkata dengan bangga dan lantang, “Inilah kami, bangsa Indonesia!” Semoga. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar