Sesal Tak Berujung

PELAN-PELAN mereka menurunkanku dari keranda besi yang mengangkutku dari rumah hingga tanah pekuburan ini. Tak tega rasanya aku meninggalkan anak, isteri, dan saudara-saudaraku yang selama ini aku cintai. Sementara ibuku tak kuasa menahan tangisnya yang begitu pilu. Ah, bahkan teman-teman dan kerabatku pun hanya bisa mengantarkanku hingga tempat ini, tanpa bisa menemaniku. Lagipula, bagaimana mungkin mereka mau menemani seseorang yang berada di ruangan yang hanya berukuran dua kali setengah meter saja. Hanya muat untuk seorang. Ruangan yang begitu gelap, pengap, dan mencekam itu.

Aku sudah dapat membayangkan hari-hariku nanti yang hanya dan akan selalu diselimuti dengan kegelapan. Hari-hari yang tiada tentu siang dan malamnya. Seakan sepanjang waktu yang berlangsung hanya malam. Gelap gulita. Belum lagi mahluk apa yang akan diutus menemaniku di tempat itu nanti. Malaikatkah, atau justeru ular dan kalajengking yang perlahan-lahan menggigit dan melumat sekujur tubuhku? Ah, ngeri aku membayangkan itu semua.

Perlahan-lahan air mataku mulai mengaliri pipiku. Menetes di lembaran putih kain kafan yang membalut seluruh tubuhku. Tangisku kian dalam tatkala mereka memasukkanku ke dalam liang lahat yang sangat sempit itu. Pada saat-saat seperti inilah aku mulai terkenang akan segala amal perbuatanku sewaktu hidup dulu. Aku menyesal mengapa dulu aku tidak pernah dengan tulus mengabdikan hidupku untuk beribadah kepada-Nya. Aku menyesal mengapa hidupku dulu kusia-siakan dan kuhabiskan hanya untuk memenuhi keinginan-keinginan hawa nafsuku.

Aku menyesal mengapa dulu hartaku kuhabiskan di jalan yang tidak benar. Mengapa dulu aku tidak menafkahkan saja harta-harta itu di jalan kebenaran. Di jalan Allah yang bisa menyelamatkanku dalam keadaan seperti sekarang ini.

Semakin deras air mataku membanjiri pipiku. Aku sangat menyesal mengapa dulu aku menyia-nyiakan waktuku yang begitu lama itu. Anugerah begitu besar yang aku terima ternyata tak cukup mampu untuk menyadarkanku akan kasih sayang Sang Pencipta kepadaku. Aku malah terlena dan mabuk atas semua yang aku terima dalam kehidupan ini.

Ah, kehidupan dunia yang begitu indah dan gemerlap itu telah melenakanku untuk beribadah kepada-Nya. Kini aku menyadari betapa semua itu hanyalah main-main dan senda gurau belaka. Kehidupan dunia yang dulu kupuja-puja itu nyatanya tak lebih dari kesenangan yang menipu. Sangat menipuku. Dan inilah ternyata kehidupan yang hakiki itu. Allah, ampunilah hamba-Mu ini. ..

Kini aku tersadar betapa waktu sangat berarti bagi kehidupanku kini. Dua puluh empat jam yang aku terima setiap harinya selama empat puluh tahun telah kusia-siakan. Kenapa hanya untuk beribadah tak lebih dari satu jam perhari, aku begitu malas. Aku hanya disibukkan dengan kerja dan kerja, menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya. Hingga aku lupa akan diri-Nya. Hingga kematian menjemputku. Hingga aku mengunjungi pekuburan ini. Ah, semua ini hanya akan menjadi penyesalan yang tak berujung, di bilik yang gelap, pengap, dan mengerikan ini.

Kian deras tangisku menggema di liang lahat ini. Aku menjerit dan meronta ingin bangkit dan hidup kembali. Untuk menebus segala dosa dan kesalahanku. Untuk dengan setulus hati mengabdi kepada-Nya. Dan untuk melakukan kebaikan-kebaikan kepada orang-orang di sekitarku. Namun apa daya, aku hanya bisa menangis dan menyesali diriku sendiri. Tanpa bisa memutar waktu. Bahkan untuk menggerakkan anggota tubuhku sendiri pun aku tak bisa.

Perlahan-lahan mereka menutupkan papan di atasku. Kemudian mengurugku dengan tanah merah pekuburan yang lembab itu. Selanjutnya, yang ada hanyalah kegelapan yang hitam dan kelam. Begitu mencekam. [*]

Tidak ada komentar: