IDENTITAS BUKU: Penulis: Dr. H. Achmad Patoni, M.Ag.; Judul Buku: Peran Kiai Pesantren dalam Partai Politik; Desain Cover: Digi Art Design; Penerbit: Pustaka Pelajar; Cetakan I: Agustus 2007; Jumlah Halaman: xvi + 211; Ukuran Buku: 14 x 20 cm.
REVIEW: Penelitian-penelitian yang mengupas tentang kiai dan dunia politik secara umum telah banyak dilakukan. Akan tetapi yang secara spesifik membahas dinamika dan peran kiai pesantren dalam partai politik bisa dikatakan masih jarang, bahkan tidak ada. Karena itulah, menurut penulis, buku ini hadir. Sebagaimana diketahui, pascatumbangnya Orde Baru dan berganti dengan Era Reformasi, banyak kiai-kiai pemilik pondok pesantren yang terjun ke dunia politik. Fenomena ini membuat nalar intelektual penulis tertarik dan bertanya-tanya, tugas pokok kiai pesantren adalah membina, mengasuh, dan mendidik santri, tetapi mengapa mereka berbelok dan memutar arah dengan memasuki dunia yang bukan habitat aslinya? Pertanyaan inilah yang membuat penulis merasa perlu untuk meneliti fenomena ini.
Lebih lanjut, penulis merumuskan beberapa pokok permasalahan yang menjadi fokus kajian buku ini. Pokok-pokok permasalahan tersebut adalah: pertama, bagaimana bentuk peran kiai pesantren dalam partai politik; kedua, apakah motif mereka terjun dalam partai politik; ketiga, bagaimanakah pandangan kiai pesantren terhadap dunia politik. Dalam membahas jawaban atas ketiga pokok permasalahan tersebut, penulis membagi dan menjabarkan buku ini ke dalam beberapa bab, yaitu pendahuluan, kiai dalam perspektif sosial, pondok pesantren di Kediri, kiai pesantren dan politik, dan yang terakhir penutup.
Di kalangan masyarakat Indonesia, kata kiai merujuk pada figur tertentu yang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang memadai dalam ilmu-ilmu agama Islam (hlm. 20). Namun dalam pengertian yang lain, gelar kiai sebenarnya tidak hanya melekat pada ahli agama atau pemilik pondok pesantren, akan tetapi lebih luas pengunaannya. Zamakhsari Dhofier, sebagaimana dikutip oleh penulis, menemukan bahwa kata “kiai” dalam masyarakat merujuk kepada tiga hal. Pertama, kiai merupakan sebutan untuk benda-benda pusaka atau barang terhormat. Kedua, gelar kiai ditujukan kepada orang tua atau tokoh masyarakat. Ketiga, gelar kiai diberikan oleh masyarakat kepada orang yang ahli dalam bidang ilmu-ilmu agama Islam (hlm. 21-23).
Menurut Hiroko Horikoshi sebagaimana dirujuk penulis, kiai berperan sebagai penegak keimanan dengan cara mengajarkan doktrin-doktrin keagamaan dan memelihara amalan-amalan keagamaan ortodoks di kalangan umat Islam. Oleh Hiroko, peran ini disebut sebagai peran ortodoksi tradisional (hlm. 24). Lebih luas, peran-peran yang dijalankan oleh kiai di dalam masyarakat adalah sebagai pemegang pesantren yang menawarkan kepada masyarakat akan agenda-agenda perubahan sosial-keagamaan. Secara spesifik, agenda-agenda sosial-keagamaan tersebut adalah yang terkait dengan masalah interpretasi agama, pendampingan dalam bidang ekonomi, menentukan perilaku keagamaan kaum santri dan masyarakat Muslim secara luas, dan lain-lain. Dengan demikian, kiai menjadi rujukan masyarakat dalam pelbagai bidang kehidupan, mulai persoalan agama, sosial, politik, ekonomi, hingga permasalahan budaya. Ini menegaskan peran sentral kiai dalam masyarakat.
Dalam masyarakat, terminologi kiai seringkali rancu apabila dihadapkan dengan kata lain yang sejenis, semisal ulama. Namun, kita akan dapat mengurai permasalahan terminologis semacam ini dengan jelas apabila kita meneliti lebih detail atas kata ulama itu sendiri di dalam bahasa aslinya, yakni bahasa Arab. Berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an yang memuat kata ulama atau kata-kata lain yang seakar dengannya, dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan ulama adalah orang-orang yang memiliki kemampuan berpikir tentang alam, sehingga dengan pemikirannya itu menghasilkan teori-teori baru. Teori-teori inilah yang nantinya digunakan untuk membangun peradaban yang tinggi, sehingga tugas-tugas kekhalifahan manusia dapat dijalankan dengan sempurna (hlm. 28-29).
Karakteristik lain yang secara esensial melekat pada ulama ini adalah adanya rasa takut kepada Allah. Rasa takut ini muncul karena mereka benar-benar memahami sifat-sifat Allah, dan pada saat yang sama memperhatikan secara seksama bukti-bukti akan adanya Tuhan. Dengan pengetahuan yg mendalam atas Tuhan dan alam semesta itu mereka berusaha menginternalisasikan kesempurnaan dan sifat-sifat kemuliaan Tuhan ke dalam dirinya.
Dalam kaitannya dengan terminologi kiai, penulis mencatat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan kata kiai dan ulama. Pertama, antara ulama dan kiai bukanlah dua entitas atau figur yang dapat dibedakan secara tegas. Kedua, ulama memiliki pengaruh yang lebih luas dibanding kiai. Ulama secara khusus mengacu pada orang yang menguasai ilmu agama secara luas dan mendalam, sedangkan sebutan kiai bisa melekat pada beragam karakteristik. Ketiga, ulama adalah orang yang memiliki ilmu secara mendalam, dan mengamalkan ilmu tersebut. Selain itu, sebagai pewaris para Nabi, ulama juga mewarisi ilmu, ketakwaan, kekuatan iman, akhlak mulia, pengayoman terhadap umat, keberanian dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, serta keikhlasan dan keuletan dalam mengajak kepada kebaikan. Dalam konteks ini, serang kiai bisa saja dikategorikan sebagai ulama. Akan tetapi tidak semua kiai dapat disebut sebagai ulama, mengingat kriteria ulama yang demikian ketat tersebut.
Terkait dengan peran kiai dalam politik, penulis menjelaskan bahwa seorang kiai dapat mengambil peran sebagai politisi, karena posisinya yang berkaiatan secara tegas dengan menjadi anggota partai politik atau anggota legislatif. Dia disebut sebagai politisi karena secara otomatis harus berkaitan secara langsung dengan masyarakat. Seorang kiai dapat disebut melakukan tindakan politik manakala tindakannya itu mengacu kepada masyarakat secara keseluruhan (hlm. 48). Dengan demikian dapat dipahami bahwa peran kiai dalam partai politik dapat dimaknai sebagai ikhtiar untuk membangun penataan masyarakat secara efektif.
Menurut penulis, peran kiai pesantren dalam bidang politik ini menarik diteliti karena beberapa sebab. Pertama, kiai adalah figur yang cukup berpengaruh dan menjadi rujukan masyarakat dalam pelbagai bidang. Kedua, kiai memerankan peran yang signifikan dalam menarik dukungan dari umat untuk mengikuti pilihan politik tertentu. Ketiga, mayoritas kiai adalah pengikut aliran teologi Sunni yang berpandangan bahwa politik dan agama (Islam) tidak dapat dipisahkan.
Dalam menganalisa peran kiai pesantren dalam politik ini, penulis menggunakan pelbagai pendekatan dan teori. Teori-teori tersebut adalah teori fungsionalisme struktural, teori tindakan, teori konflik, teori komunikasi dan difusi inovasi, teori perubahan sosial, serta teori adaptabilitas. Dari beberapa teori tersebut, yang sering digunakan oleh sosiolog untuk menjelaskan hubungan politik dengan agama adalah teori fungsionalisme struktural. Perspektif ini memusatkan perhatian pada prasyarat fungsional atau kebutuhan yang harus dipenuhi oleh suatu sistem sosial dalam mempertahankan kehidupan dan struktur-struktur yang sesuai dalam memenuhi kebutuhan tersebut (hlm. 55).
Melalui teori fungsionalisme struktural ini, kiai dianggap memiliki fungsi, yaitu sebagai ulama dan pengayom umat. Fungsi-fungsi tersebut membawa konsekuensi tertentu bagi anggota pondok pesantren dan masyarakat pada umumnya. Jika fungsi ini tidak dijalankan oleh kiai, maka akan terjadi apa yang dinamakan sebagai fungsi laten dalam masyarakat, yaitu fungsi yang tidak diharapkan yang akan mengakibatkan hilangnya keseimbangan di dalam masyarakat dan pesantren.
Dalam bab III penulis membahas secara luas mengenai pondok pesantren. Pembahasan itu kemudian diikuti dengan menampilkan profil tiga pondok pesantren yang menjadi subyek penelitian penulis, yaitu pondok pesantren Lirboyo, pondok pesantren Ploso, dan pondok pesantren Jamsaren. Ketiganya berlokasi di Kediri, Jawa Timur. Menurut M. Arifien, sebagaimana dikutip penulis, pondok pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kompleks) di mana para santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dan kepemimpinan kiai yang kharismatik dan independen (hlm. 90-91).
Secara umum, pesantren dibagi menjadi dua, yaitu salafi dan khalafi. Pesantren salafi adalah pesantren yang hanya mengajarkan pelajaran kitab-kitab Islam klasik. Sedangkan pesantren khalafi adalah pesantren yang selain mengajarkan kitab klasik, juga memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam kurikulumnya. Selain itu, pesanten khalafi juga terkadang membuka tipe-tipe sekolah umum di lingkungan pondok pesantren.
Menurut simpulan penulis, prasyarat minimal yang harus dipenuhi untuk bisa dikatakan sebagai pondok pesantren adalah adanya: (1) kiai yang mendidik dan mengajar; (2) santri yang belajar; dan (3) masjid sebagai tempat berlangsungnya pembelajaran. Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan pondok pesantren, pendidikan Islam di Indonesia juga mengenal istilah Madrasah Diniyah. Madrasah Diniyah adalah jenis pendidikan keagamaan yang memberikan pendidikan khusus ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab (hlm. 94).
Menurut penulis, tujuan utama pendidikan di pondok pesantren adalah: (1) mempersiapkan santri dalam mendalami dan menguasai ilmu agama Islam, yang diharapkan dapat menjadi kader ulama yang turut mencerdaskan masyarakat; (2) sebagai dakwah dalam menyebarkan agama Islam; (3) sebagai benteng pertahanan umat dalam bidang akhlaq (hlm. 101).
Ditinjau dari segi sejarah, pondok pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan pribumi tertua di Indonesia. Lembaga ini sudah dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka, bahkan bersamaan dengan hadirnya Islam di Indonesia. Setidaknya ada tujuh teori tentang asal-usul sistem pondok pesantren, yaitu: (1) pondok pesantren merupakan bentuk tiruan atau adaptasi atas pendidikan Hindu dan Budha sebelum Islam datang ke Indonesia; (2) berasal dari India; (3) berasal dari Baghdad; (4) perpaduan Hindu-Budha dan India; (5) perpaduan Hindu-Budha dan Arab; (6) berasal dari India dan orang Islam Indonesia; dan (7) berasal dari India, Timur Tengah, dan tradisi lokal yang lebih tua. Dari beberapa pendapat di atas, teori ketujuhlah yang dianggap lebih kuat daripada yang lain (hlm. 98).
Sejak awal keberadaannya hingga kini, pondok pesantren dan Madrasah Diniyah, selain berfungsi sebagai lembaga pendidikan keagamaan, keduanya juga berperan sebagai pusat pengembangan masyarakat dalam banyak bidang. Dalam konteks ini, pondok pesantren juga membekali dan melatih santrinya dengan materi kewirausahaan. Ini ditujukan agar setelah lulus dari pesantren nanti, para santri bisa mandiri, khususnya dalam bidang ekonomi. Bahkan tidak sedikit pesantren yang berhasil mengembangkan usahanya dalam bidang agribisnis, agroindustri, jasa, dan bidang-bidang lainnya. Ini tentu sangat bermanfaat, baik bagi santri maupun bagi masyarakat sekitar.
Mengenai pondok pesantren yang menjadi subyek penelitian penulis, adalah tiga pondok pesantren yang ada di Kediri, Jawa Timur, yaitu pondok pesantren Lirboyo, pondok pesantren Ploso, dan pondok pesantren Jamsaren. Pondok pesantren Lirboyo terletak di desa Lirboyo Kecamatan Mojoroto, Kotamadya Kediri. Desa Lirboyo sendiri terletak kurang lebih dua kilometer sebelah barat pusat Kota Kediri. Sedangkan pondok pesantren Al-Falah Ploso terletak di Desa Ploso, Kecamatan Mojo, Kotamadya Kediri. Pondok pesantren As-Sa’idiyah Jamsaren terletak di Desa Jamsaren, Kecamatan Kota Kediri, Kotamadya Kediri.
Terkait keterlibatan kiai dalam kancah politik bisa ditelusuri jauh sebelum negara Indonesia berdiri. Martin van Bruinessen dalam bukunya, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, menulis keterlibatan ulama dalam politik Kesultanan Banten dalam lembaga yang disebut sebagai Qadi (hlm. 138-139). Ketika masa kolonialisme Belanda, kiai juga berperan sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, khususnya petani, dari perlakuan represif dan eksploitatif para penjajah. Kiprah kiai dan tokoh agama berlangsung hingga Indonesia merdeka, dengan dinamika internal dan tantangan yang berbeda dengan era-era sebelumnya.
K.H. Mahrus Aly misalnya, tercatat banyak aktif dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di wilayah Kediri dan sekitarnya. Penulis mencatat beberapa faktor yang melatari kiai pesantren terjun dalam dunia politik. Pertama, alasan teologis yang menyatakan tidak adanya pemisahan antara agama (din) dan politik (siyasah). Kedua, alasan dakwah, yakni sebagai sarana untuk menyosialisasikan nilai-nilai keislaman kepada masyarakat. Ketiga, faktor jejaring politik yang sulit dihindari sehingga menjadikan kiai pesantren harus terjun ke dalamnya (hlm. 153-156).
Menurut penulis, orientasi para kiai dalam terjun ke dunia politik adalah untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Konsep amar ma’ruf nahi munkar ini diletakan dalam pengertian yang luas, yaitu pengawasan dan evaluasi. Dalam pandangan kiai, konsep ini memiliki peran signifikan, karena dalam kenyataannya tatanan sosial-politik yang ada banyak yang tidak sejalan dengan ajaran agama. Karena itulah para kiai merasa perlu untuk terjun ke dalam dunia politik untuk mewujudkan kontrol kekuasaan yang sewenang-wenang dan menyimpang dari aturan moral, hukum, maupun aturan agama (hlm. 158).
Selain itu, konsep amar ma’ruf ini hendaknya juga dipahami dalam cakupan dan pengertian yang luas, yaitu mewujudkan perbaikan sistem pendidikan, penegakan supremasi hukum, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan memprioritaskan pembangunan bagi rakyat. Meskipun demikian, masuknya para kiai ke dunia politik tidak selalu membawa implikasi yang menggembirakan. Misalnya pesantren yang tak terurus dengan baik, ataupun fungsi-fungsi sosial-keagamaan kiai yang sedikit banyak terdegradasi.
Di akhir buku ini, penulis menarik beberapa kesimpulan yang didasarkan atas penjelasan secara keseluruhan yang telah diuraikan sebelumnya. Pertama, peran kiai dalam dinamika politik ada beberapa bentuk, yakni sebagai aktor, sebagai pendukung, dan sebagai partisipan. Sebagai aktor, kiai menjadi anggota tim sukses parpol tertentu sekaligus juru kampanyenya. Sedangkan sebagai pendukung, kiai mendukung calon tertentu yang diusung oleh partai politik, namun tidak berada dalam garis depan dalam memperjuangkan keberhasilan sang calon. Sebagai partisipan, kiai hanya memberikan restu kepada calon tertentu tanpa terlibat dalam aksi dukungan maupun sebagai tim sukses.
Kedua, motif bergabungnya kiai pesantren ke dalam politik praktis didasari oleh alasan untuk memperjuangkan Islam melalui jalur struktural, sekaligus sebagai bentuk perjuangan moral di dalam dunia perpolitikan. Implikasinya, peran kiai sebagai pengasuh pesantren tidak bisa dijalankan secara maksimal. Namun di sisi lain, dengan keterlibatan kiai dalam politik akan mendatangkan keuntungan bagi institusi pesantren, yakni perubahan dan perbaikan sarana dan prasarana pesantren lebih mudah dilakukan.
Ketiga, politik dalam pandangan para kiai adalah bagian tak terpisah dari ajaran agama. Dengan pandangan semacam ini, orientasi dalam politik adalah amar ma’ruf nahi munkar, sekaligus sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Prioritas orientasi politik kiai tidak lain sebagai perintah agama. Oleh karena itu, penggunaan simbol-simbol agama bagi kiai dalam berpolitik tidak dapat dihindari, atau simbol itu dimunculkan oleh kiai sebagai basis teologi kiai itu sendiri. [*]
1 komentar:
Postingan resensinya seperti buku aslinya.Atullaina berpesan
Posting Komentar