IDENTITAS BUKU: Penulis: Muhammad Hamidi; Judul Buku: Mitos-Mitos dalam Hikayat Abdulkadir Jailani; Penyelaras Bahasa: Achadiati Ikram, Dewaki Kramadibrata; Desain Sampul: Rahmatika Creative Design; Penerbit: Yayasan Obor Indonesia; Edisi Pertama: Juli 2003; Jumlah Halaman: vi + 140; Ukuran Buku: 14 x 20 cm.
REVIEW: Pengalaman masa kecil yang dirasakan oleh penulis buku ini membuatnya penasaran akan sosok Abdulkadir Jailani. Menurut pengakuan penulis, nama Abdulkadir Jailani telah begitu lama akrab di telinganya. Pasalnya, hampir setiap peristiwa penting yang terjadi dalam kehidupan masyarakat di mana penulis tinggal, selalu diadakan acara ritual berupa pembacaan riwayat hidup (manakib) Abdulkadir Jailani. Setiap habis panen, apabila ada seseorang yang sembuh dari penyakit, terbebas dari musibah besar, acara pernikahan, sunatan, maupun peristiwa-peristiwa penting lainnya. Oleh masyarakat di sana, pelaksanaan ritual ini disebut sebagai nadar.
Dalam pelaksanaan ritual nadar tersebut dihidangkan pelbagai makanan dan minuman yang istimewa dalam jumlah yang melimpah. Inilah yang menarik perhatian anak-anak, termasuk penulis kala itu, untuk selalu mengikuti ritual tersebut. Dalam ritual itu juga dihadiri oleh tetangga dan masyarakat kampung, sehingga forum itu menjadi ajang silaturahmi dan ramah-tamah antartetangga. Dalam perspektif pikiran penulis yang masih kanak-kanak kala itu, acara itu menjadi ajang yang sangat tepat untuk bermain-main dan bersenda gurau dengan teman sebayanya. Kenangan tentang pembacaan riwayat hidup Abdulkadir Jailani, makanan yang lezat, bermain dan bercanda dengan teman sebaya, dan berkumpul dengan para tetangga menjadi sebuah memori kolektif masyarakat di mana penulis hidup.
Seiring dengan berkembangnya waktu dan peningkatan pengetahuan yang dimiliki penulis, timbullah pertanyaan-pertanyaan mengenai ritual nadar tersebut: mengapa ritual nadar kala itu begitu mengakar di masyarakat, dengan latar belakang penyelenggaraan yang berbeda-beda tetapi dilakukan dalam satu ritual yang sama? Mengapa pula riwayat yang dibaca dalam ritual itu adalah riwayat hidup Abdulkadir Jailani dan bukan yang lain? Mengapa riwayat yang dibaca tidak riwayat Nabi Muhammad saja? Bukankah Nabi Muhammad mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada Abdulkadir Jailani, yang seluruh perilakunya wajib dicontoh oleh kita semua sebagai umatnya?
Pertanyaan-pertanyaan kritis itulah yang melatari penulisan buku ini. Dengan melakukan penelitian secara khusus terhadap naskah-naskah Melayu tentang Abdulkadir Jailani yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta, penulis hendak mengungkap jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Secara spesifik, pembahasan atas naskah-naskah melayu tersebut akan difokuskan pada gejala-gejala paling menonjol yang dimiliki teks itu, yakni keajaiban-keajaiban dan kesaktian-kesaktian Abdulkadir Jailani. Sebab, menurut penulis, kedua hal inilah yang membuat orang suka membaca riwayat hidup Abdulkadir Jailani. Kedua hal ini pulalah yang memancing kontradiksi terhadap dimensi-dimensi keagamaan Islam yang lain. Karena itu, keajaiban dan kesaktian Abdulkadir Jailani inilah yang akan menjadi tema besar dan fokus pembahasan dalam buku ini.
Dalam kajian pustakanya terhadap karya-karya terdahulu, penulis merasa tertarik untuk meng-counter sebuah buku karangan Imran A.M. yang berjudul Manakib Syekh Abdul Qadir Jaelani Merusak Aqidah Islam (1984). Buku tersebut berkesimpulan bahwa membaca manakib dilarang oleh agama apabila dilakukan dengan niat berlebih-lebihan, seperti mengharap dagangan cepat laku atau untuk mengusir makhluk halus (1984: 6). Selain itu, Imran A.M. juga mengoreksi terhadap isi cerita manakib Abdulkadir Jailani yang dianggapnya menyimpang dari ajaran Islam. Tegasnya, manakib dan tradisi pembacaannya, menurut Imran A.M., penuh dengan kesyirikan dan kekufuran (1984:163). Karenanya harus ditinggalkan, sebab dapat merusak akidah.
Secara argumentatif penulis membantah pendapat itu dengan mengatakan bahwa pembacaan manakib di kalangan masyarakatnya adalah bentuk pelaksanaan nazar yang merupakan kewajiban bagi orang yang mengucapkannya. Nazar merupakan bentuk ungkapan rasa syukur seorang hamba kepada Allah atas segala karunia yang telah dilimpahkan kepadanya. Di bagian akhir buku, penulis juga menambahkan bahwa pembacaan manakib di kampungnya merupakan bentuk tawasul kepada Allah. Secara harfiah tawasul berarti perantara. Dalam hal ini Abdulkadir Jailani dijadikan sebagai perantara untuk menyampaikan permohonan kepada Allah. Sebab, Abdulkadir Jailani dianggap sebagai seorang wali yang bersih dan suci hatinya, serta jauh dari sifat-sifat keduniawian. Dengan demikian, permohonan yang dilakukan manusia melalui dan atas namanya akan dengan mudah dikabulkan oleh Allah (hlm. 99). Di sisi lain, pembacaan manakib juga mempunyai fungsi-fungsi yang bersifat sosial, yakni mengakrabkan hubungan kekeluargaan antartetangga. Ini disebabkan karena dalam pembacaan manakib menghadirkan banyak orang dalam satu forum.
Penelitian yang dilakukan oleh penulis ini bertujuan untuk menyajikan sebuah pendekatan secara ilmiah terhadap Hikayat Abdulkadir Jailani. Karena itu, langkah pertama yang dilakukan adalah menginventarisasi naskah-naskah Hikayat Abdulkadir Jailani, kemudian menyajikannya dalam sebuah edisi teks. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui kandungan teksnya. Apa yang dikandung oleh Hikayat Abdulkadir Jailani sehingga banyak orang yang menyukainya maupun tidak menyukainya? Apa yang terdapat dalam hikayat ini hingga dikatakan dapat merusak akidah Islam? Pembahasan dalam buku ini juga dimaksudkan untuk mengetahui mitos-mitos yang ada dalam hikayat ini. Dengan mengetahui mitos-mitos yang ada dalam hikayat, maka dapat dirunut hubungan antara sosok Abdulkadir Jailani dengan mitos-mitos yang telah membentuk hikayat ini.
Metode yang digunakan oleh penulis untuk mencapai tujuan-tujuan penelitian sebagaimana disebutkan di atas adalah dengan menentukan sebuah naskah yang akan ditransliterasi. Naskah ini merupakan teks landasan yang diperoleh melalui perbandingan terhadap naskah-naskah yang lain. Di sisi lain, pendekatan yang digunakan penulis dalam rangka mengetahui kandungan teks untuk meneliti hubungan yang ada antara tokoh Abdulkadir Jailani dengan para Nabi, khususnya Nabi Muhammad, adalah pendekatan mitologis. Pendekatan ini tidak menilai cerita dari sudut kerumitan alur atau dari jenis penokohan, melainkan melihat suatu peristiwa yang terdapat dalam suatu cerita bersumber pada suatu mitos tertentu yang hidup dalam masyarakat, baik pernah terjadi ataupun tidak (hlm. 7).
Buku ini terdiri dari lima bab. Bab pertama atau pendahuluan membahas latar belakang, pembahasan masalah, tujuan, metode, dan biografi singkat Abdulkadir Jailani. Bab kedua adalah telaah naskah, di mana penulis menghadirkan profil lima naskah yang telah dipilih, kemudian membandingkan dan menyimpulkannya. Bab ketiga berisi suntingan naskah, yakni penulis menyajikan salah satu naskah secara lengkap dalam bahasa Indonesia. Bab keempat berisi analisa penulis terhadap kelima naskah tersebut. Bab kelima adalah kesimpulan yang merupakan muara dari seluruh pembahasan yang ada dalam buku ini.
Naskah-naskah yang diteliti oleh penulis dalam buku ini dibatasi hanya pada lima naskah tentang Hikayat Abdulkadir Jailani yang terdapat di Perpustakaan Nasional Jakarta. Kelima naskah tersebut adalah: naskah A bernomor Bat. Gen. 206; naskah B bernomor Bat. Gen. 256 A; naskah C bernomor Bat. Gen. 392; naskah D dari koleksi Brandes bernomor Br. 285; dan naskah E dari koleksi Von de Wall bernomor v.d.w. 128 (hlm. 9). Kelima naskah tersebut masih dapat ditemukan secara fisik di Perpustkaan Nasional Jakarta, kecuali naskah E yang sudah hilang. Dengan demikian, naskah-naskah yang akan dijadikan sebagai bahan perbandingan dan analisa oleh penulis hanyalah naskah A, B, C, dan D.
Mengenai sumber penyalinan, menurut Drewes dan Poerbatjaraka sebagaimana dikutip penulis, Hikayat Abdulkadir Jailani merupakan hikayat yang memiliki sumber penyalinan yang jelas (1990:30). Dalam konteks ini, naskah A, B, dan D yang diteliti oleh penulis bersumber dari kitab Khulasah al-Mafakhir. Ini sebagaimana disebutkan dalam naskah A pada halaman 3, naskah B pada halaman 4, dan naskah D pada halaman 3 (hlm. 16). Kitab Khulasah al-Mafakhir merupakan sebuah monograf singkat yang disusun oleh seorang penulis Arab bernama Al-Yafii. Dia merupakan seorang pengikut mazhab Syafi’i yang dilahirkan di Yaman Selatan tahun 1298 M. (Drewes &Poerbatjaraka, 1990:30).
Sedangkan untuk naskah C, sumber penyalinannya adalah kitab Tabaqat, Qala’id al-Jawahir, dan Bustan al-‘Arifin. Meskipun demikian, naskah C ini tidak menjelaskan apakah seluruh isinya diambil dari ketiga sumber tersebut atau masih ada sumber lain. Selain itu, naskah ini juga tidak menyebut bagian mana diambil dari sumber yang mana. Penjelasan yang ada hanya berupa penyebutan ketiga kitab tersebut secara sepintas. Dari ketiga kitab itu, kitab Qala’id al-Jawahir-lah yang paling sering disebut naskah C ini. Menurut Drewes, kitab ini ditulis oleh Al-Thadhifi yang meninggal pada tahun 1556 M. (1990:13). Dalam penulisannya, Al-Thadhifi mengambil sumbernya dari kitab Bahjah al-Asrar karya Al-Syattalawfi yang meninggal tahun 1314 M. (hlm. 20). Naskah C juga memuat ajaran-ajaran Abdulkadir Jailani sendiri yang berasal dari bukunya yang berjudul Futuh al-Ghaib (hlm. 18).
Pada bagian selanjutnya, penulis menginventarisir secara singkat cerita-cerita yang terdapat dalam keempat naskah dan membandingkannya. Dari inventarisasi itu dapat disimpulkan bahwa keempat naskah memiliki kesamaan isi dan urutan. Perbedaannya terletak pada jumlah cerita, di mana naskah A memiliki 28 cerita, naskah B memiliki 31 cerita, dan D dengan 49 cerita dari 100 cerita yang ada dalam naskah Jawa yang dijadikan landasan perbandingan. Sedangkan naskah C memiliki 56 cerita yang sama dengan cerita yang terdapat dalam naskah Jawa meskipun urutannya berbeda. Selain itu, penulisan cerita dalam naskah A, B, dan D cukup panjang dan menunjukkan narasumber yang jelas. Sedangkan naskah C sebagian besar cerita ditulis secara singkat dengan narasumber yang tidak jelas.
Walaupun naskah D berisi 49 cerita, naskah ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyuntingan, karena ke-49 cerita yang terdapat di dalamnya hanya sebagian kecil dari keseluruhan cerita. Dengan kata lain, ke-49 cerita dalam naskah D tidak dapat membentuk sebuah cerita yang utuh karena banyak bagian cerita yang penting justeru hilang. Dibanding naskah-naskah yang lain, naskah C memiliki beberapa kelebihan: pertama, bagian cerita yang tidak terdapat dalam naskah ini, yakni sebanyak 44 cerita, tidak mempengaruhi keutuhan cerita. Artinya, ke-56 cerita yang terdapat dalam naskah C tetap bisa mewakili keutuhan cerita yang ada. Kedua, naskah ini memiliki cerita-cerita lain yang tidak dimiliki oleh naskah A, B, maupun D, serta tidak dimiliki juga oleh naskah Jawa. Berdasarkan kelebihan-kelebihan dan keutuhan ceritanya, maka naskah C ini dijadikan naskah yang akan disunting.
Dalam naskah C ini juga tedapat beberapa unsur kedaerahan, baik berupa bahasa, kultur, maupun kondisi geografis. Unsur bahasa daerah, baik kosakata maupun struktur kalimat, yang ada dalam naskah C adalah bahasa Sunda dan Jawa. Menurut penulis, adanya kosakata bahasa daerah ini menjadi indikasi yang kuat tentang adanya pengaruh daerah dalam naskah C ini. Penulis menyebut beberapa kosakata daerah antara lain ajimat (C:25), belang (C:47), gagap (C:10), wetan (C:57), dan lain-lain (hlm. 34-35).
Di samping adanya pengaruh kebahasaan, terdapat juga pengaruh geografi dan kebiasaan orang Sunda. Pengaruh tersebut tampak dalam cerita tatkala Abdulkadir Jailani berjalan dalam keadaan bingung tanpa arah dan tujuan. Dalam perjalanan itu Abdulkadir Jailani memakan pohon-pohonan berduri yang diambilnya dari tepi sungai. Disebutkan juga bahwa dia memakan daun-daunan yang dibuang orang. Pinggir sungai merupakan tempat yang sangat dikenal oleh masyarakat Sunda. Tempat ini banyak tersebar di wilayah Jawa Barat, khususnya daerah pegunungan. Demikian juga pohon berduri dan daun-daunan yang sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari orang Sunda. Pohon berduri yang hidup di pinggir sungai diperkirakan tanaman sejenis paku yang biasa dijadikan lalap (hlm. 36).
Dalam bab III, penulis menyajikan naskah C dalam edisi bahasa Indonesia yang merupakan hasil suntingan dari bahasa aslinya, Melayu. Bersamaan dengan itu, penulis juga menyajikan standar transliterasi yang diterapkan dalam menyunting naskah C tersebut. Selain itu, beberapa kosakata dalam naskah C yang berbahasa Arab juga diinventarisir oleh penulis, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan bantuan beberapa kamus dan buku (hlm. 95-98).
Dari penelitian terhadap teks-teks tersebut oleh penulis, dapat dirunut hubungan yang kuat antara riwayat Abdulkadir Jailani dengan riwayat hidup para Nabi, khususnya Nabi Muhammad. Berdasarkan pendekatan mitologis yang digunakan oleh penulis, dapatlah disimpulkan bahwa beberapa cerita tentang keajaiban dan kesaktian yang dialami Abdulkadir Jailani merujuk pada keajaiban dan kesaktian yang terdapat dalam riwayat hidup para Nabi, khususnya Nabi Muhammad. Penulis menemukan sekurang-kurangnya enam cerita tentang keajaiban yang dialami Abdulkadir Jailani yang merujuk pada pengalaman Nabi Muhammad. Misalnya kisah tentang keajaiban Abdulkadir Jailani ketika masih bayi yang tidak mau menyusu kepada ibunya karena hari itu merupakan hari pertama bulan Ramadhan. Cerita ini merujuk pada kisah Nabi Muhammad ketika masih bayi (hlm. 127).
Mengenai kesaktian-kesaktian Abdulkadir Jailani, ternyata tidak hanya bersumber pada kesaktian yang dimiliki Nabi Muhammad, tetapi juga beberapa Nabi yang lain. Dari keenam jenis kesaktian yang dibahas, tiga diantaranya bersumber pada kesaktian Nabi Muhammad. Sedangkan ketiga kesaktian yang lain bersumber pada Nabi Sulaiman, Nabi Yusuf, dan Nabi Isa (hlm. 128).
Dari uraian-uraian yang dibahas dalam buku ini, penulis berkesimpulan bahwa adanya beberapa kisah keajaiban yang dialami Abdulkadir dalam Hikayat Abdulkadir Jailani yang merujuk pada kisah keajaiban serupa yang pernah dialami Nabi Muhammad, menunjukkan hubungan yang erat antara cerita kedua tokoh tersebut. Kedekatan pengalaman ini kemudian ditunjang oleh kemiripan kesaktian yang mereka miliki. Persamaan kedua hal ini (pengalaman kedua tokoh akan kesaktian dan keajaiban) mengakibatkan masyarakat Pulau Jawa, khususnya Kabupaten Bogor tempat penulis hidup, masih suka membaca hikayat ini.
Persamaan kedua pengalaman ini pula yang mengakibatkan masyarakat tidak pernah mempersoalkan tokoh Abdulkadir Jailani sebagai tokoh utama yang dibaca pada upacara-upacara nadar. Abdulkadir Jailani memang tidak sama dengan Nabi Muhammad, tetapi kehadiran tokoh ini dapat mewakili tokoh Nabi Muhammad, sehingga mereka dapat mencintai Abdulkadir sebagaimana mereka mencintai Nabi Muhammad (hlm. 128). Ini berbeda dengan masyarakat yang menentang tradisi pembacaan Hikayat Abdulkadir Jailani yang memandang bahwa kesaktian dan keajaiban yang dimiliki Abdulkadir adalah sesuatu yang mustahil dan berlebih-lebihan. Mereka tidak melihat keajaiban dan kesaktian tersebut sebagai upaya untuk mewujudkan kembali sosok Nabi Muhammad dan Nabi-Nabi yang lain pada manusia yang bukan Nabi dan pada manusia yang lebih dekat jarak hidupnya.
Dalam pandangan penulis, upaya untuk mewujudkan kembali sifat-sifat para Nabi terhadap Abdulkadir Jailani dapat ditafsirkan juga sebagai upaya untuk mewujudkan harapan-harapan dan nilai-nilai para pengikutnya terhadap tokoh ideal mereka. Dengan kata lain, Abdulkadir Jailani merupakan penjelmaan harapan-harapan dan nilai-nilai pengikutnya, khususnya murid-muridnya (hlm. 129). [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar