IDENTITAS BUKU: Penulis: Harmanto Edy Jatmiko; Judul Buku: Revolusi Karakter Bangsa Menurut Pemikiran M. Soeparno (Kebijakan, Strategi, dan Operasionalisasi Berdasarkan Model Kesisteman); Editor: Yayasan Obor Indonesia; Pengantar: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie; Desain Cover: Adjie Soeroso; Penerbit: Yayasan Obor Indonesia; Cetakan: Pertama, Januari 2006; Jumlah Halaman: xx + 150; Ukuran: 10,5 x 18 cm.
REVIEW: Buku ini berusaha menggali pemikiran Moehamad Soeparno terkait dengan pengembangan karakter dan moral bangsa Indonesia. Moehamad Soeparno adalah mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Airways (GIA) periode 1988-1992 yang kini giat mengampanyekan upaya-upaya untuk pengembangan moral bangsa Indonesia, terutama di kalangan pemuda. Kepedulian M. Soeparno terhadap karakter dan moral bangsa Indonesia sudah berlangsung sejak lama. Sebagai wujud kepedulian itu, dia banyak menulis tentang pembangunan karakter bangsa, memprakarsai pendirian sekolah-sekolah yang berbasis pendidikan karakter, serta aktif di pelbagai organisasi yang concern pada pemberdayaan masyarakat. Semua yang dilakukannya itu bertujuan untuk satu hal, yakni membangun masyarakat dan bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih sejahtera dan bermartabat.
Akan tetapi pengalaman yang dia jalani selama ini mengajarkan bahwa langkah-langkah itu saja sungguh jauh dari mencukupi. Di tengah kondisi moral bangsa yang kian terpuruk dan carut-marut, pembenahan secara parsial dan ad hoc tak akan efektif menyelesaikan permasalahan. Yang dibutuhkan sekarang adalah perombakan total karakter bangsa secara serentak, baik di tingkat perorangan maupun kelembagaan, yakni keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Untuk itu, M. Soeparno menawarkan apa yang diistilahkannya sebagai "revolusi" atas karakter bangsa berdasarkan model kesisteman dengan menyertakan langkah-langkah kongkritnya, mulai dari kebijakan, strategi, operasionalisasi, pengendalian, hingga pengawasannya. Pandangan dan pemikiran itulah yang diuraikan oleh penulis dalam buku ini.
Untuk memetakan pemikiran dan isi buku agar mudah dipahami, penulis membagi buku ini ke dalam tujuh bagian, di mana masing-masing bagian terdiri dari beberapa poin atau sub-bagian. Ketujuh bagian dimaksud adalah: M. Soeparno dan gagasan revolusinya; karakter bangsa yang kian luluh-lantak; meniscayakan masyarakat madani; jangan malu belajar dari bangsa lain; merumuskan karakter bangsa yang diharapkan; dan penutup.
Pada bagian kedua buku ini, penulis mengungkapkan keprihatinan dan kekhawatiran M. Soeparno atas kondisi bangsa Indonesia yang kian terpuruk dalam pelbagai aspek kehidupan. Di dalam negeri, Indonesia mengalami banyak permasalahan yang tak bisa ditangani dengan baik, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), kemiskinan, pengangguran, mahalnya biaya pendidikan, pelanggaran-pelanggaran hukum dan HAM, d.l.l. Sedangkan di luar negeri, citra Indonesia kian buruk saja, yakni dicap sebagai bangsa buruh, terjajah, koruptor, teroris, d.l.l. Dalam istilah penulis, di dalam negeri karakter Indonesia mengalami kehancuran, sedangkan di luar negeri citranya babak-belur (hlm. 18). Ironisnya, cita-cita luhur yang dicetuskan oleh para pendiri bangsa justeru perlahan-lahan mulai dilupakan. Konstitusi negara kita yang disusun oleh The Founding Fathers bangsa Indonesia lebih dari 60 tahun yang lalu telah menegaskan hak-hak sosial warga negara, terutama tentang pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun, visi luhur itu ternyata hanya dijadikan sebagai "hiasan formal" yang tak terwujud secara riil dalam kehidupan masyarakat. Alih-alih menyejahterakan masyarakat, para pemegang kebijakan justeru tenggelam dalam pusaran KKN yang dibungkus dalam kemasan neokapitalisme dan neoliberalisme. Dalam kenyataannya, hal itu lebih sering menyengsarakan sebagian besar rakyat Indonesia (hlm. 34).
Pasca-reformasi 1998, ada secercah harapan bahwa keadaan-keadaan di atas bisa pulih dan membaik. Akan tetapi fakta di lapangan berbicara sebaliknya. Keadaan justeru memburuk, bahkan semakin meluas dalam kehidupan masyarakat. Maka, diperlukan kemauan yang kuat dan tindakan yang konsisten, baik dari pemerintah maupun masyarakat, untuk memperbaiki keadaan tersebut. Kedua belah pihak harus bekerjasama dan saling mendukung dalam mewujudkan agenda nasional perubahan bangsa. Ini semua ditujukan untuk menciptakan masyarakt madani (civil society) dalam kehidupan bangsa Indonesia. Civil society mengandaikan adanya keseimbangan antara negara dan masyarakat. Untuk mewujudkan hal ini diperlukan fondasi berupa karakter dan moral bangsa yang kokoh. Dan itu hanya bisa digali dari nilai-nilai luhur budaya bangsa yang dipadukan dengan tuntutan nilai-nilai universal sebagai dampak perubahan lingkungan, baik di tingkat regional maupun global (hlm. 50).
Dalam pembangunan terhadap karakter dan moral bangsa, seharusnya kita juga tidak perlu malu untuk mencontoh negara-negara lain yang telah berhasil membangun moral dan karakter bangsa mereka. Meskipun secara kultural konteks masyarakat kita berbeda dengan negara lain, namun tetap saja ada banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik dari mereka. Misalnya dari segi visi dan komitemen para pemimpin negara-negara itu, serta dari segi praktis seperti bagaimana mereka menyusun kebijakan, strategi, dan pelaksanannya. Dari negara Singapura misalnya, kita bisa meneladani karakter disiplin dan tegas yang mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga dari Malaysia yang notabene pernah belajar kepada bangsa Indonesia, kita juga tidak perlu segan untuk belajar atas keberhasilan-keberhasilan yang mereka capai. Dari para pemimpin negara itu kita bisa belajar karakter amanah (tepercaya), komitmen untuk menyejahterakan masyarakat, serta pemihakan terhadap penduduk pribumi.
Selain itu, dari Korea Selatan kita juga bisa meneladani komitmen dan ketegasan pemerintah mereka dalam memberantas korupsi. Pemberantasan korupsi di Korsel dilakukan secara konsisten, tegas, dan tanpa pandang bulu. Ini terbukti ketika salah satu presiden mereka, Chun Doo-hwan (1981-1988), yang divonis hukum mati karena kasus suap. Atau mantan presiden Roh Tae-woo (1988-1993) yang divonis 22,5 tahun penjara karena terbukti menerima suap (hlm. 68). Dalam konteks bangsa Indonesia yang masih sibuk berkutat dengan pemberantasan korupsi, apa yang dilakukan oleh Korsel itu sangat perlu untuk diteladani.
Di sisi lain, pembangunan karakter bangsa harus didasarkan dan dirujukkan kepada nilai-nilai dan budaya bangsa sendiri, yang dalam hal ini adalah Pancasila. Pancasila merupakan kristalisasi dari nilai-nilai, keyakinan, dan kultur masyarakat Indonesia yang digali dan diwarisi secara turun-temurun dari nenek moyang bangsa Indonesia. Oleh para pendiri bangsa, Pancasila diformalkan menjadi dasar dan falsafah negara Indonesia, sekaligus sebagai way of life warga negara (hlm. 87). Oleh karena itu, pengejawantahan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi sangat urgen untuk membenahi degradasi moral bangsa. Pada gilirannya, aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari akan semakin mendekatkan kita kepada cita-cita luhur bangsa Indonesia, yakni mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berangkat dari falsafah negara Pancasila yang merupakan cerminan nilai-nilai yang digali dari seluruh bumi Nusantara, M. Soeparno menawarkan rumusan karakter bangsa Indonesia yang terdiri atas lima butir. Kelima karakter dimaksud adalah: pertama, bangsa Indonesia adalah manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, patuh kepada hukum, perundang-undangan, serta peraturan yang berlaku. Kedua, bangsa Indonesia adalah manusia yang bangga sebagai warga negara Indonesia serta cinta tanah air dan bangsanya, berbudi pekerti luhur, siap membela negara dan bangsa demi tegaknya NKRI. Ketiga, bangsa Indonesia adalah manusia yang memiliki jiwa kebersamaan, gotong-royong, toleransi, serta anti segala bentuk kekerasan. Keempat, bangsa Indonesia adalah manusia yang berbadan sehat, bersih, hemat, jujur, tertib, cermat, rajin, tepat waktu, serta berdisiplin tinggi. Kelima, bangsa Indonesia adalah manusia yang memiliki kemauan belajar dengan jangkauan masa depan, penuh inisiatif, kreativitas, inovasi yang dilandasi dedikasi yang tinggi demi kemajuan, pengabdian, dan manfaat bagi kehidupan dirinya, bangsa, negara, serta umat manusia (hlm. 91-92).
Pada bagian enam buku ini, penulis mengelaborasi gagasan M. Soeparno mengenai apa yang disebutnya sebagai Revolusi Karakter Bangsa Indonesia (RKBI). RKBI dimaksudkan sebagai perombakan secara total dan sistematis atas karakter bangsa Indonesia yang dilakukan secara serentak, baik di tingkat perorangan maupun kelembagaan. Untuk menjelaskan gagasannya itu, penulis juga merumuskan detail-detail kebijakan, strategi, operasionalisasi, pengendalian, hingga pengawasannya. Gagasan ini, menurut penulis, harus dilakukan secara sistematis lengkap dengan ketetapan hukum, yakni dalam bentuk undang-undang, yang menjadi landasannya, mengikat bagi seluruh masyarakat Indonesia, serta pemberian sanksi bagi mereka yang melanggar butir-butir ketentuan karakter yang telah ditetapkan (hlm. 133).
Program ini tentunya meniscayakan komitmen dan keterlibatan dari seluruh penyelenggara negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif di setiap tingkatan yang ada mulai dari Desa/ Kelurahan hingga tingkat pusat. Di samping itu, masyarakat sebagai sasaran program ini juga harus berpartisipasi secara proaktif untuk melaksanakannya. Jika ini semua dilaksanakan dan dipatuhi secara konsisten, maka diharapkan di masa mendatang kita akan menjadi bangsa yang kuat, maju, mandiri, serta mempunyai kepribadian yang kokoh. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar