DALAM perkembangan peradaban umat manusia, tulisan memegang peran yang sangat signifikan. Dia menjadi sarana transformasi ilmu pengetahuan, pemikiran, dan kebudayaan dari zaman ke zaman. Orang yang hidup di masa kini bisa mengetahui pemikiran dan peristiwa zaman dulu melalui tulisan. Demikian juga pemikiran-pemikiran yang muncul pada masa kini bisa diketahui oleh orang-orang yang hidup di masa mendatang jika didokumentasikan salah satunya dengan tulisan. Tak dapat dipungkiri bahwa perkembangan dan kemajuan peradaban yang dicapai oleh manusia tak terlepas dari pencapaian yang telah ada sebelumnya. Mengenai hal ini, Isaac Newton, seorang ilmuwan ahli fisika, mengilustrasikan, “If I have seen further it is by standing on the shoulder of the giants” (jika saya mampu melihat jauh maka hal ini disebabkan oleh karena saya berdiri di pundak para jenius terdahulu). Dan segala kemajuan dan pencapaian yang ada tersebut tak dapat diketahui oleh manusia secara luas, serta diwariskan turun-temurun, jika tidak direkam dalam sebuah media bernama tulisan.
Demikian juga yang terjadi dalam agama dan peradaban Islam. Tulisan memegang peran sentral. Meskipun pada awal kelahirannya budaya yang berkembang adalah budaya lisan, namun pada tahap selanjutnya budaya tulislah yang maju dengan sangat pesat. Embrio awal berkembangnya budaya tulis dalam Islam dimulai dengan penulisan Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Umat Islam yang hidup pada saat ini mungkin tidak dapat membaca kitab suci Al-Qur’an jika pada waktu itu Nabi Muhammad tidak memerintahkan para sekretarisnya untuk menuliskan setiap ayat yang diterimanya dari malaikat Jibril. Langkah beliau ini merupakan sebuah terobosan yang sangat brilian dan berani. Sebab, dengan menuliskan Al-Qur’an, maka orisinalitas Al-Qur’an tetap terjaga. Selain itu, di tengah masyarakat Arab yang asing dengan budaya tulis, Rasulullah memulai kultur menulis di kalangan mereka. Sebuah langkah yang tidak popular tetapi sangat penting dan bermanfaat bagi generasi selanjutnya.
Pada tahap selanjutnya, penulisan Al-Qur’an disempurnakan oleh Umar ibn Khattab, Abu Bakr al-Shiddiq, dan Utsman ibn Affan dengan membukukannya. Seandainya saja, sekali lagi, Al-Qur’an tidak dituliskan dan dibukukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya tersebut, dan bacaan Al-Qur’an hanya ada pada hafalan para sahabat, sedangkan para sahabat sebagai manusia tentu pada akhirnya akan meninggal, di sisi lain orang yang dikaruniai bisa hafal Al-Qur’an jumlahnya terbatas, maka mungkin Al-Qur’an lambat laun akan musnah. Tapi syukurlah Allah yang telah menurunkan Al-Qur’an telah dan akan selalu menjaganya dengan pelbagai cara, termasuk melalui tulisan.
Hal yang sama juga terjadi pada hadis Rasulullah. Imam Bukharilah orang yang mula-mula memelopori untuk menulis perkataan, perbuatan, dan ketetapan-ketetapan Rasulullah dalam bentuk kitab hadis. Jika saja Imam Bukhari dan para imam hadis yang lain tidak menuliskan segala yang datang dari Rasulullah, maka mungkin kita tidak akan mengetahui kepribadian, akhlak, perkataan, dan keteladanan yang telah diberikan oleh Rasulullah kepada para umatnya. Kita yang berada di Indonesia yang jauh dari Jazirah Arab tentu tidak akan mengetahui segala hal yang terkait dengan Rasulullah jika tidak melalui kitab-kitab hadis yang telah dengan susah payah disusun oleh para imam hadis.
Pada masa-masa berikutnya, budaya tulis menjadi sangat sentral dalam Islam. Para agamawan dan saintis awal Islam sangat produktif dalam menghasilkan karya-karya yang sangat bermanfaat bagi umat Islam. Karya-karya mereka—baik dalam bidang agama, seperti tafsir, hadis, akidah, akhlak, fiqih, d.l.l., maupun ilmu-ilmu eksak, seperti kimia, fisika, astronomi, aljabar, d.l.l.—terekam dalam jumlah yang sangat melimpah di pelbagai kitab. Karya-karya tersebut merupakan warisan yang sangat berharga bagi umat Islam yang hidup setelah generasi mereka. Sebab, melalui karya-karya itulah ilmu-ilmu yang sangat variatif tersebut dapat diketahui, dipelajari, dan selanjutnya dikembangkan oleh kita yang hidup di masa kini. Melalui tulisan-tulisan itulah transformasi pengetahuan, pemikiran, dan peradaban dalam Islam terjadi.
Dikarenakan tulisan memegang peran yang sangat besar dalam transformasi pengetahuan dan peradaban, maka kegiatan menulis pun menjadi sangat penting. Menulis berarti menuangkan pengetahuan, pemikiran, ide, dan pengalaman dalam bentuk huruf dan kata-kata. Sebrilian apapun pemikiran seseorang tidak akan diketahui secara luas jika tidak dituangkan ke dalam sebuah tulisan. Mungkin dia bisa mengomunikasikan pemikiran itu secara verbal kepada orang lain. Namun sejauh mana komunikasi verbal itu bisa menjangkau masyarakat luas? Selain itu, komunikasi verbal hanya bisa dilakukan selagi dia masih hidup. Setelah meninggal, pemikiran itu tentu akan dibawanya mati. Di sinilah peran penting tulisan. Dia berfungsi sebagai sebuah karya yang menjelaskan pemikiran seseorang, sekaligus berfungsi sebagai media publikasi dan dokumentasi. Melalui karya tulis, misalnya buku, detil-detil pemikiran seseorang dapat diuraikan secara komprehensif dan jelas. Selanjutnya karya tersebut dapat digandakan secara massal sehingga bisa menjangkau masyarakat luas tanpa terikat dengan batas-batas geografis.
Di sisi lain, apabila karya itu berupa karya ilmiah, misalnya dalam bidang fisika, kimia, sosiologi, ekonomi, d.l.l., dan bukan berupa karya sastra atau nonfiksi, maka masyarakat ilmuwan dapat mengulas, mendukung, maupun mengkritisinya melalui cara yang sama. Dengan cara itulah diskusi tentang sebuah keilmuan menjadi kian semarak. Karena cara ini pula dunia keilmuan berkembang dengan sangat pesat. Pada akhirnya ini tentu akan semakin memperkaya pengetahuan yang telah ada sebelumnya.
Menulis merupakan sarana untuk meneguhkan eksistensi kita sebagai seorang individu di antara individu-individu lainnya. Melalui tulisan-tulisan kita, orang lain mengenal personalitas, pemikiran, dan pengalaman-pengalaman yang kita miliki. Ketika kita menciptakan tulisan dan karya-karya kita, pada saat yang sama karya-karya itu “menciptakan” kita. Artinya, melalui karya-karya itu masyarakat dapat mempersonifikasikan kita sebagai seorang individu yang mempunyai pemikiran, pengalaman, dan kepribadian tertentu. Dalam konteks ini kita dapat mengatakan, “Aku menulis maka aku ada.” Kita “diciptakan” oleh tulisan-tulisan kita.
Untuk menghasilkan tulisan yang bagus dan berbobot diperlukan beberapa hal, di antaranya adalah penguasaan bahasa dan logika, ide yang bagus, serta teknik-teknik pengolahan kata. Selain itu, hal penting yang harus dimiliki oleh setiap penulis adalah penguasaan secara komprehensif terhadap permasalahanyang sedang dibahas. Ini sangat penting agar si penulis bisa menjelaskan tema yang sedang ditulisnya secara jelas, mendalam, dan tidak menimbulkan ambiguitas bagi pembacanya. Dengan penguasaan ini pula penulis dapat memberikan beragam perspektif dan wawasan atas permasalahan yang sedang dikaji kepada pembacanya. Inilah signifikansi membaca bagi penulis. Semakin banyak bacaan yang dilahap oleh seorang penulis, semakin luas pula wawasan dan pikirannya. Pada gilirannya tulisan yang dihasilkan pun akan menjadi tulisan yang bernilai, inspiratif, dan dapat memperkaya wawasan para pembacanya.
Selain memperkaya wawasan, melalui membaca penulis juga dapat memeroleh pengetahuan tentang teknik-teknik menulis, baik fiksi maupun nonfiksi, serta gaya-gaya kepenulisan para pengarang buku yang berbeda-beda. Dengan demikian si penulis dapat menilai dan membuat perbandingan gaya kepenulisan di antara mereka, serta bila perlu mengadopsi gaya-gaya tertentu yang dianggapnya menarik dan sesuai dengan karakternya. Orisinalitas gaya kepenulisan memang perlu sebagai ciri khas seorang penulis, namun bukan berarti dia mengabaikan gaya kepenulisan yang telah ada sebelumnya. Bukankah tidak ada seorang penulis yang benar-benar mandiri dan terlepas dari pengaruh para penulis sebelumnya, baik dalam sisi ide maupun gaya kepenulisan?
Dalam kaitannya dengan penumbuhan dan pengembangan semangat menulis di kalangan para pemuda inilah Forum Lingkar Pena (FLP) memainkan peran yang sangat baik. Dengan visi besar memberikan pencerahan kepada masyarakat melalui tulisan, FLP berupaya secara serius mencetak penulis-penulis muda yang siap menginspirasi masyarakat Indonesia. Pelbagai program pelatihan dan workshop menulis yang diselenggarakan oleh FLP bertujuan untuk meningkatakan kualitas dan kuantitas karya para penulis muda. Keberadaan FLP dengan para penulis dan karya-karya yang dihasilkannya bertujuan untuk meningkatkan budaya membaca dan menulis di kalangan masyarakat. Jika kultur membaca telah terwujud dengan baik dalam masyarakat niscaya kualitas kehidupan mereka akan meningkat.
Satu hal yang tidak dapat kita pisahkan dari FLP adalah identitas keislamannya. Dalam hal ini, identitas keislaman yang menjadi anutan FLP adalah Islam yang berbasis pada kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Dengan spirit keislaman itulah FLP berupaya memberikan inspirasi dan pencerahan kepada masyarakat Indonesia. Menurut FLP, menulis tidaklah semata-mata menciptakan karya yang indah, melainkan juga harus dijadikan sebagai sarana untuk menyebarkan nilai-nilai luhur yang ada pada agama Islam kepada masyarakat luas.
Kita patut memberikan apresiasi dan penghargaan yang tinggi kepada para inisiator, pengelola, dan anggota FLP yang telah mendedikasikan kerja dan karya-karyanya untuk penyebaran nilai-nilai Islam. Ini dilakukan dengan cara mereka yang khas. Melalui FLP mereka berupaya meneruskan misi penyebaran agama Islam kepada masyarakat luas. Sebuah misi yang dulu diemban oleh Rasulullah, para sahabat, dan para ulama yang hidup sesudah mereka. Sebuah pesan yang datang dari Allah, melalui Rasul-Nya, untuk disampaikan kepada umat manusia. Bukankah Rasulullah pernah mengatakan, “Ballighu ‘anni walau ayah” (sampaikanlah misi Islam ini dariku meskipun hanya satu ayat). Dalam konteks ini, FLP dengan caranya yang khas, melalui karya-karya yang dihasilkannya telah melaksanakan sabda Rasul tersebut dengan sangat baik. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar