IDENTITAS BUKU: Penulis: Muhammad In'am Esha; Judul Buku: Rethinking Kalam: Sejarah Sosial Pengetahuan Islam, Mencermati Dinamika dan Aras Perkembangan Kalam Islam Kontemporer; Editor: Abdillah Halim; Desain Cover: Sarwanto; Layout: Abdul Adhim; Penerbit: eLSAQ Press; Cetakan: Pertama, November 2006; Jumlah Halaman: xii + 159; Ukuran: 12 x 18 cm.
REVIEW: Seperti tercermin dalam judulnya, Rethinking Kalam, buku ini berusaha memikirkan dan merumuskan kembali atas keilmuan kalam (teologi) yang selama ini telah dianggap baku dan final. Pada awal kemunculannya, ilmu kalam merupakan respons terhadap maraknya filsafat Yunani dan ajaran-ajaran di luar Islam saat itu. Ideologi dan pemiiran-pemikiran filosofis tersebut tersebar luas di kalangan masyarakat Muslim, sehingga para pemikir Islam merasa perlu mengantisipasi kemungkinan tercemarnya akidah umat Islam. Karya-karya yang ditulis oleh para pemikir Muslim itulah yang kemudian berkembang menjadi ilmu kalam. Dengan kata lain, ilmu kalam menjadi fakta yang menunjukkan adanya sense of social crisis dari para pemikir Muslim kala itu.
Selanjutnya, berabad-abad setelah itu, yakni saat ini, kondisi umat Islam mengalami keterbelakangan di pelbagai bidang. Mulai dari penjajahan, kemiskinan, kebodohan, ketertindasan, keterpecahbelahan, d.l.l. Sayangnya, Islam sebagai anutan kepercayaan dan pandangan hidup kaum Muslim tak berkutik menghadapi itu semua. Ilmu kalam yang dulunya sangat responsif terhadap kondisi sosial yang dialami umat Islam, kini seakan lumpuh tak berdaya menjawab persoalan riil umat Islam. Dalam istilah penulis, elan vital ilmu kalam yang dulu dimilikinya kini telah hilang. Dalam kerangka itulah rethinking terhadap ilmu kalam sangat urgen untuk dilakukan. Gagasan rethinking kalam bertujuan merumuskan kembali ilmu kalam menjadi bentuk baru yang sesuai dengan spirit awal pembentukannya, yakni kalam yang relevan dengan kondisi zaman dan dapat merespons problem-problem sosial yang dihadapi. Secara spesifik, tema-tema yang akan dijadikan fokus kajian dalam buku ini adalah mengenai kalam pembebasan, kalam feminisme, dan kalam pluralisme.
Untuk menguraikan permasalahan secara sistematis agar mudah dipahami, penulis membagi buku ini ke dalam delapan bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi pengantar menuju wacana. Bab dua dan tiga membahas pengertian, ruang lingkup, metodologi, dan sejarah ilmu kalam. Bab empat menguraikan diskursus antara tradisi dan modernitas dalam pemikiran Islam, khususnya mengenai ilmu kalam. Bab lima hingga delapan membahas wacana tentang perumusan kembali (rethinking) ilmu kalam beserta tawaran-tawaran dari para pemikir Islam kontemporer, yakni mengenai kalam pembebasan, kalam feminisme, dan kalam pluralisme.
Ilmu kalam, atau yang belakangan disejajarkan dengan teologi, secara definitif adalah ilmu yang membahas segi-segi mengenai Tuhan dan pelbagai derivasinya, baik dalam kaitannya dengan alam semesta maupun manusia. Ruang lingkup pembahasan ilmu kalam, menurut penulis sebagaimana dikutip dari Al-Ghazali, adalah tentang Tuhan dengan segala sifat-Nya, tentang kenabian, dan tentang hari akhir atau eskatologi. Dalam membahas tema-tema tersebut, para pemikir Muslim pada awal munculnya ilmu ini mengerahkan seluruh pikirannya untuk membela akidah umat Islam dari serangan-serangan paham di luar Islam dengan menggunakan argumen-argumen rasional maupun yang diambil dari Al-Qur'an. Seiring perjalanannya, concern pembahasan ilmu kalam yang hanya berkutat pada "tema-tema langit" mulai mengalami pergeseran di penghujung abad 20. Para intelektual Muslim kontemporer berusaha merekonstruksi ilmu kalam dengan cara "membumikan" keilmuan tersebut. Ini dilakukan antara lain oleh Hassan Hanafi. Langkah Hanafi ini kemudian diikuti oleh para pemikir Muslim lainnya dengan mengusung tema-tema yang aktual dan relevan dengan kondisi umat Islam saat ini (hlm. 23).
Pembahasan tentang tema-tema kalam sebenarnya telah ada sejak zaman Rasulullah SAW, meskipun dalam bentuk yang sederhana. Sedangkan periode kematangan dan definitif ilmu kalam terjadi pada masa-masa kejayaan golongan Mu'tazilah. Pada masa ini, persoalan-persoalan kalam seperti qadar mulai mendapat sentuhan-sentuhan filosofis dan tidak melulu merupakan perkara keyakinan. Argumen-argumen yang digunakan oleh para ahli kalam dalam menjelaskan tema-tema ketuhanan banyak menyentuh aspek-aspek fisika dan metafisika, serta menggunakan logika Aristotelian. Pasca Mu'tazilah, pembahasan tentang tema-tema kalam lebih diwarnai oleh upaya sintesa antara pemikiran ortodoks yang literalis dan pandangan-pandangan Mu'tazilah yang rasionalis. Pada masa ini, golongan Ahlussunnah wal Jama'ah mendominasi lapangan keilmuan-keilmuan Islam, termasuk dalam hal kalam, dan ranah sosial-politik masyarakat Islam. Satu hal yang dapat dipetik dari perjalanan sejarah ilmu kalam tersebut, menurut penulis, adalah adanya respons dan dialektika ilmu kalam terhadap kondisi sosial dan problem-problem yang dihadapi oleh umat Islam pada masanya. Karena itu, spirit dialektis dan responsif ilmu kalam tersebut harus selalu direvitalisasi, terutama pada masa modern sekarang ini, agar bisa menjawab permasalahan-permasalahan aktual yang dihadapi oleh umat Islam (hlm. 40).
Selanjutnya pada masa modern, diskursus mengenai tradisi dan modernitas menjadi tema yang menyedot perhatian yang sangat besar di kalangan masyarakat Muslim, terutama para pemikirnya. Umat Islam dihadapkan pada dua fenomena besar yang sangat urgen dalam kehidupan keagamaan mereka, yakni warisan masa lalu (al-turats) berupa seperangkat pemikiran dan tradisi tertentu yang ditinggalkan oleh generasi Muslim terdahulu. Di sisi lain, mereka juga dihadapkan dengan realitas budaya Barat dengan segala aspek pemikiran, tradisi, dan nilai-nilainya. Menyikapi hal ini, terdapat sekelompok masyarakat Muslim yang berusaha mempertahankan al-turats tersebut secara ketat dan tanpa adanya kompromi sedikitpun untuk mengakomodasi modernisme dari Barat.
Di lain pihak, terdapat pula golongan modernis yang menganjurkan pengadopsian modernitas Barat untuk mengejar ketertinggalan masyarakat Muslim pada saat ini. Menurut mereka, tradisi dan modernitas tak perlu dipertentangkan, namun justeru seharusnya dipertautkan dan didialogkan secara sinergis untuk menghasilkan sebuah pemikiran baru yang dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat Muslim. Sebab, pada dasarnya Islam adalah shalih likulli zaman wa makan. Karena itu, akomodasi terhadap modernitas merupakan sebuah keniscayaan sebagai wujud dinamisitas dan progresifitas agama Islam sebagaimana dicerminkan dalam kredo tersebut. Dari golongan ini, muncullah para intelektual semisal Hassan Hanafi, Mohammad Abid Al-Jabiri, Mohammed Arkoun, Fazlur Rahman, d.l.l. Hanafi misalnya, menekankan pentingnya aspek manusia yang harus dikedepankan dalam diskursus keilmuan Islam kontemporer, serta pembaruan keilmuan Islam dengan penekanannya yang serius terhadap konsep pembebasan dan revolusi. Umat Muslim, menurut Hanafi, harus mempunyai kesadaran "aku", yakni kesadaran akan eksistensinya, dalam mengatasi problem-problem yang dihadapinya terkait dengan kehidupan mereka saat ini (hlm. 58-59).
Keniscayaan akomodasi terhadap modernitas yang datang dari Barat tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh para pemikir Muslim dengan mendekonstruksi untuk kemudian merekonstruksi terhadap turats Islam yang ada. Hassan Hanafi misalnya, menawarkan sebuah rumusan pemikiran Islam yang baru, khususnya ilmu kalam, yang lebih bersifat dialektis dan akomodatif terhadap modernitas. Menurut konstruksi baru hasil gagasan Hanafi, kalam bukan lagi ilmu yang berbicara tentang dimensi ketuhanan secara murni, tetapi tentang bagaimana pemahaman akan dimensi ketuhanan tersebut mampu ditransformasikan demi mengukuhkan eksistensi kemanusiaan dalam realitas kesehariannya. Kalam rumusan Hanafi ini menawarkan konsep-konsep revolusioner yang dapat memotivasi manusia untuk mengatasi problem kontemporer yang mereka hadapi. Ilmu kalam masa kini, dengan demikian, haruslah diorientasikan pada pembelaan terhadap kepentingan konkret manusia dalam kehidupan mereka (hlm. 69).
Pada bab enam, tujuh, dan delapan buku ini, penulis mengelaborasi beberapa aplikasi pemikiran yang ditawarkan oleh para intelektual Muslim dalam kerangka pemaknaan dan rumusan baru terhadap ilmu kalam yang secara teoretis telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya. Dalam hal ini, penulis menguraikan tentang kalam pembebasan yang digagas oleh Asghar Ali Engineer, kalam feminisme yang dicetuskan oleh Riffat Hasan, dan kalam pluralisme hasil rumusan Nurcholish Madjid. Mengenai teologi pembebasan, Asghar Ali Engineer menyatakan bahwa ia adalah teologi yang tidak hanya berkutat pada aras pemikiran murni spekulatif yang ambigu semata, melainkan mengembangkan paradigma praksis sosialnya sebagai instrumen kokoh dalam membebaskan umat manusia dari cengkraman penindasan, serta memberi motivasi untuk bertindak revolusioner dalam menghadapi tirani, eksploitasi, dan penganiayaan. Teologi pembebasan memberikan keyakinan penuh pada rakyat untuk mengubah kondisi-kondisi yang ada agar menjadi lebih baik, ketimbang harus bersikap apatis dan pasif (hlm. 90).
Terkait dengan hal ini, Asghar menawarkan rumusan ulang terhadap beberapa konsep kunci dalam teologi yang ditransformasikan menjadi kerangka praksis telogi pembebasan. Konsep kunci dimaksud adalah mengenai tauhid, jihad, dan iman. Konsep mengenai jihad misalnya, terminologi lama yang mengacu pada peperangan secara fisik (agression), oleh Asghar dianggap sudah tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang. Karena itu, jihad dalam pemaknaan teologi pembebasan Asghar direinterpretasi menjadi aktivitas dinamis dan progresif untuk melakukan pembebasan masyarakat dari realitas penindasan yang menimpa mereka, seperti eksploitasi, korupsi, dan pelbagai bentuk kezaliman yang lain (hlm. 92).
Sedangkan feminisme adalah konsep pemikiran dan gerakan yang mengupayakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, serta menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan perlakuan yang merugikan perempuan. Dalam konteks agama Islam, Riffat menilai bahwa agama telah digunakan dan ditafsirkan sedemikian rupa sehingga lebih banyak merugikan perempuan. Diskriminasi terhadap perempuan Muslim, menurut Riffat, didasari dan dikuatkan oleh argumentasi-argumentasi dan teks-teks teologis. Karena itu, hal mendasar yang harus dilakukan adalah memeriksa kembali landasan telogi tempat semua argumen dan sentimen antiperempuan tersebut berakar. Dalam mengonstruksi teologi feminismenya, Riffat menempuh langkah-langkah strategis, yaitu: pertama, memusatkan perhatian pada ayat-ayat yang dianggap definitif dalam konteks relasi laki-laki dan perempuan yang telah dijadikan dasar superioritas laki-laki atas perempuan. Kedua, mengkaji ulang keberadaan hadits-hadits misoginis yang sering dipakai untuk menafsiri ayat-ayat Al-Qur'an. Ketiga, Mempelajari tulisan-tulisan beberapa feminis ahli telogi Yahudi dan Kristen yang berusaha menggali asal-usul teologis dari cara pandang dan sikap antiperempuan dalam tradisi mereka. Dan keempat, Berusaha mengartikulasikan apa yang dianggap menjadi pandangan normatif Islam tentang perempuan, yakni Al-Qur'an. Dalam hal yang keempat ini, Riffat menjadikan ideal moral Al-Qur'an yang mengedepankan etos pembebasan, egalitarianisme, dan keadilan sebagai kriteria (hlm. 113).
Dalam permasalahan purdah misalnya, Riffat menilai bahwa pada prinsipnya ia adalah pakaian yang menurut kepantasan setempat membuat perempuan dihormati kemanusiaannya. Dari sini Riffat memandang bahwa kewajiban wanita untuk memakai purdah bukan semata untuk dan berarti menutup seluruh tubuhnya, hal yang mana dipahami selama ini, hingga menjadikan perempuan kehilangan identitasnya. Reinterpretasi ini, menurut Riffat, sejalan dengan prinsip kesahajaan yang ditekankan oleh Al-Qur'an (hlm. 116).
Mengenai teologi pluralisme, Nurcholish Madjid menilai bahwa pemikiran itu berkaitan erat dengan karakter universal dan kosmopolit agama Islam. Universalisme Islam, dalam pandangan Nurcholish, bisa dilacak dari konsep-konsep yang dikedepankan oleh Al-Qur'an, yakni tauhid, Islam, dan taqwa. Pesan-pesan Al-Qur'an yang termanifestasikan dalam ketiga konsep tersebut merupakan ajaran universal yang dibawa oleh para Utusan Allah untuk semua umat manusia dari segala zaman dan tempat. Oleh karena itu, ada kesatuan esensial pada semua pesan Tuhan, khususnya pesan yang disampaikan kepada manusia lewat agama-agama samawi. Melalui ajaran-ajarannya ini, Al-Qur'an sebagai dasar agama Islam yang univeral dan kosmopolit telah meneguhkan tiga kesatuan titik temu agama-agama, yakni kesatuan kenabian (the unity of prophecy), kesatuan manusia (the unity of humanity), dan kesatuan Tuhan (the unity of God). Inilah kemudian yang menjadi landasan atas paham pluralisme agama (hlm. 135). [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar