PEMERINTAH menetapkan tanggal 21 Juli 2012 sebagai awal bulan Ramadhan 1433 H. Umat Muslim di Indonesia pun bersiap menyambutnya. Selama bulan Ramadhan umat Muslim diwajibkan berpuasa. Dengan spirit yang dikandungnya, Ramadhan dapat dijadikan momentum untuk membenahi permasalahan-permasalahan bangsa.
Bagi bangsa Indonesia yang sebagian besar masyarakatnya beragama Islam, bulan Ramadhan selalu menghadirkan suasana yang khas. Di pagi buta, ibu-ibu rumah tangga sibuk menyiapkan makan sahur bagi anggota keluarganya. Pada siang hari, orang-orang yang berpuasa harus rela menahan haus dan lapar demi kelangsungan puasanya. Ini tentu memerlukan kesabaran yang ekstra mengingat cuaca musim kemarau yang sangat panas. Pada malam harinya, masjid dan surau di seantero Indonesia semarak dengan ibadah shalat tarawih dan tadarus Al-Qur’an.
Momen yang paling khas dan berkesan di antara itu semua adalah fenomena mudik dan balik menjelang dan setelah Hari Raya Idul Fitri. Panggilan jiwa setiap insan untuk kembali ke asal mendorong masyarakat Indonesia untuk pulang ke kampung halaman setelah sekian lama merantau di luar daerah. Maka dapat dipastikan beberapa hari menjelang dan setelah Idul Fitri, pusat-pusat transportasi di hampir seluruh wilayah Indonesia dipenuhi oleh para pemudik. Tak jarang momen mudik dan balik ini menimbulkan kecelakaan lalu lintas akibat terlalu padatnya kendaraan di jalan raya maupun karena kelengahan para pemudik.
Permasalahan bangsa
Di tengah hiruk-pikuk rutin tahunan itu, ada beberapa permasalahan bangsa yang selayaknya tetap menjadi perhatian kita bersama. Sebut saja misalnya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), kemiskinan, kesenjangan sosial, kerukunan antarkelompok umat beragama dan masyarakat, praktik hidup masyarakat yang mengedepankan hedonisme, d.l.l.
Dari permasalahan-permaslahan yang ada tampak seakan bangsa ini sedang menderita penyakit komplikasi yang akut. Merebak dan massifnya KKN merupakan indikator lemahnya penegakan hukum kita. Kemiskinan dan kesenjangan sosial merupakan bentuk kegagalan pemerintah dalam bidang ekonomi. Sementara dalam bidang sosial dan keamanan, maraknya kasus kekerasan, termasuk yang mengatasnamakan agama, adalah contoh nyata penyakit kronis tersebut. Belum lagi praktik dan gaya hidup sebagian masyarakat kita yang mengagung-agungkan kesenangan fisik dan hal-hal lain yang bersifat materi. Ini merupakan pencederaan terhadap nilai-nilai moral dan kemanusiaan.
Sebagai sebuah bangsa yang memegang teguh prinsip ketuhanan dan agama, kita patut malu melihat permasalahan-permasalahan tersebut. Tuhan menurunkan agama yang berisi seperangkat aturan yang mengajarkan visi kehidupan setelah mati, kebaikan individu, kerukunan dan kemakmuran sosial, serta perdamaian dunia. Namun misi-misi ideal agama tersebut tak cukup mampu mendorong kita untuk berbuat sesuai ajaran itu. Dalam hal ini agama tidak salah. Kitalah yang perlu mengintrospeksi diri menyangkut ini semua. Maka, bulan Ramadhan menjadi momen yang sangat bagus bagi kita untuk berefleksi terkait permasalahan-permasalahan bangsa yang menimpa kita.
Spirit Ramadhan
Bagi umat Islam, Ramadhan adalah bulan mulia yang memunyai banyak keistimewaan. Pada bulan itu mereka menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh. Ritual puasa dilakukan dengan cara menahan makan, minum, dan berhubungan seks selama waktu tertentu. Ini mengandung makna yang sangat mendalam, yakni agar kita senantiasa mengendalikan nafsu dari keinginan-keinginan yang berlebihan. Sebab, manusia seringkali menghalalkan segala cara demi memenuhi kebutuhan perut dan seksualnya. Maka dengan mengendalikan keduanya melalui cara yang paling sederhana, yakni puasa, kita dilatih untuk membiasakan diri tidak memenuhi keduanya secara bebas dan berlebihan.
Bulan Ramadhan juga dikenal dengan bulan Al-Qur’an. Sebab pada bulan ini kitab suci umat Islam itu diturunkan. Secara garis besar, spirit yang dikandung oleh Al-Qur’an adalah pengesaan terhadap Tuhan, visi tentang kehidupan setelah kematian, serta berbuat baik kepada diri sendiri dan sesama makhluk ciptaan Tuhan. Pengesaan terhadap Tuhan berarti kita membebaskan diri dari pemberhalaan terhadap apapun selain Tuhan. Menurut konsep ini, tak selayaknya manusia diperbudak oleh harta, jabatan, pekerjaan, nama baik, maupun hal-hal lain yang bersifat materi. Karena ketertundukan dan penyerahan diri pada hakikatnya hanyalah kepada satu hal, yakni Tuhan. Inilah yang disebut dengan tauhid.
Di samping itu, visi tentang kehidupan pascakematian yang diajarkan oleh agama seharusnya mendorong manusia untuk menghindari tindakan-tindakan yang melanggar hukum. Sebab semua perbuatan manusia akan dimintai pertanggungjawaban, dan manusia akan mendapatkan balasan sesuai dengan perbuatannya, baik maupun buruk.
Jika dirunut, permasalahan bangsa yang ada sebenarnya berpangkal pada dua sifat negatif jiwa, yakni kebinatangan dan kebuasan. Menurut Ibn Maskawaih, seorang filsuf Muslim, manusia memunyai tiga potensi jiwa, yakni kebinatangan (bahimiyah), kebuasan (sabu’iyah), dan kecerdasan (nathiqiyah). Jiwa kebinatangan adalah kecenderungan manusia untuk memperturutkan kesenangan-kesenangan jasmani. Jiwa kebuasan adalah sifat-sifat manusia yang bertumpu pada kemarahan dan keberanian. Jiwa cerdas adalah sifat-sifat manusia yang selalu berpikir dan merenungi tentang hakikat segala sesuatu (Mustofa, Filsafat Islam, 2004, hlm. 178).
Dalam hal ini, korupsi dan hedonisme merupakan perwujudan jiwa kebinatangan. Ketidakrukunan antarkelompok agama dan ormas bersumber pada jiwa kebuasan. Sementara permasalahan kemiskinan dan kesenjangan sosial bersumber pada miss-manajemen pemerintah dalam mengelola Negara. Ini bisa jadi merupakan akibat kurangnya kemampuan para penyelenggara Negara dalam megelola pemerintahan secara benar. Di sisi lain, miss-manajemen itu bisa juga merupakan dampak atas massifnya KKN di setiap instansi Negara dalam setiap levelnya. Itu artinya berpangkal juga pada jiwa kebinatangan.
Filosofi pengendalian nafsu yang dikandung oleh puasa Ramadhan seyogianya menjadi pendorong untuk menghindarkan sifat-sifat negatif yang berujung pada permasalahan-permasalahan bangsa tersebut. Nilai-nilai Ramadhan itulah yang selayaknya bisa dihadirkan dalam keseharian. Ramadhan sejatinya berperan untuk membangkitkan potensi-potensi religiusitas yang telah ada pada setiap jiwa manusia. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar