Ibrahim ibn Adham dan Anjingnya


IDENTITAS BUKU: Judul: Ibrahim ibn Adham: Sang Pangeran Pengembara Tanpa Alas Kaki; Penulis: Ahmad Bahjat; Penerbit: Zaman, Jakarta; Jumlah Halaman: 164.

REVIEW: Novel yang diterjemahkan dari judul asli berupa Al-Amir wa al-Darwis ini berkisah tentang kehidupan seorang sufi kenamaan, Ibrahim ibn Adham. Dia adalah seorang Raja yang memerintah dan berkuasa penuh atas KeRajaan Tujuh Kota. Kehidupan istana yang mewah dan serbaada telah melenakannya dari makna kehidupan yang hakiki. Hari-harinya dipenuhi dengan pesta-pora dan kesenangan-kesenangan duniawi lainnya. Istana yang ditinggalinya lebih ramai dan meriah pada malam hari dengan pesta-pesta yang diadakannya. Sang Raja baru beranjak tidur menjelang pagi, dan bangun saat matahari terbenam. Sampai-sampai ia hampir tak pernah melihat matahari. Hingga pada suatu ketika, datanglah seorang Darwis misterius. Si Darwis akhirnya mengubah kehidupannya seratus delapan puluh derajat.

Buku ini mengajarkan kita tentang hikmah perjalanan kepada Sang Pencipta, kesetiaan, serta pemahaman yang holistik terhadap semua mahluk ciptaan Tuhan. Semua itu dimulai ketika pada suatu malam Sang Raja mengadakan sebuah pesta bersama para punggawa keRajaannya. Di tengah meriahnya pesta datanglah seorang Darwis tua dengan pakaian yang lusuh bersama anjingnya. Dari dialog yang dilakukan bersama si Darwis, timbullah kesadaran baru dalam benak Sang Raja yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. Sang Raja misalnya, begitu terhenyak ketika Si Darwis mengatakan bahwa meskipun dia bebas dan merdeka, namun sebenarnya dia adalah budak yang terkekang. Di satu sisi, dia bebas melakukan apa saja yang dia sukai. Namun di sisi lain, hal ini membuatnya terbelenggu oleh nafsunya. Dikatakan oleh Si Darwis, “Ketika Engkau merasa bebas dan merdeka dari Tuhan, maka saat itu juga Kau tertawan oleh nafsumu, bahkan menjadi hambanya. Jadilah hamba Tuhan, niscaya Engkau akan terbebas dari belenggu-belenggu nafsumu.”

Sang Raja pun kemudian sadar atas kesalahan-kesalahan yang telah dia lakukan selama ini. Dia akhirnya keluar dari istana dan meninggalkan segala kenikmatan duniawi yang ada di dalamnya. Bersama Si Darwis, Sang Raja menempuh perjalanan sebagai seorang Darwis yang hidup dengan sangat sederhana. Setelah dirasa cukup dalam mengantarkan Raja kepada jalan kehidupan yang diridhai Tuhan, Si Darwis berpisah dengan Raja dan menghadiahkan anjing kesayangannya kepada Raja. Anjing itulah yang akan menemani dan menjaganya ke manapun dia pergi.

Hari demi hari dilalui Darwis Ibrahim ibn Adham dengan kehidupan yang zuhud, ibadah dengan sangat tekun, dan perenungan-perenungan akan hikmah ketuhanan. Fase-fase dalam kehidupan para sufi tahap demi tahap juga telah dilaluinya: khauf, Raja’, ridha, hub, syauq, hingga uns. Namun demikian, dia belum juga mencapai puncak tertinggi dalam fase-fase itu, yakni musyahadah, penyaksian terhadap Allah.

Suatu ketika, Darwis ibn Adham bertafakkur dan merenung mengenai anjing yang telah begitu setia menjaganya selama ini. Seringkali dia memberi makan anjingnya itu, tapi sewaktu-waktu dia tidak mendapatkan sesuatu untuk diberikan kepada hewan itu. Dengan segala kondisi yang ada itu si anjing tetap setia mengikuti dan mematuhi perintahnya. Ini, renungnya, berbeda dengan kondisi hati manusia yang selalu berubah dan berganti-ganti antara cinta dan benci sesuai dengan pemberian yang mereka terima. “Apakah hati anjing itu merupakan bagian dari mukjizat Allah? Kita berada di hadapan seekor anjing yang berfitrah setia, dan kesetiaan itu tidak tergantung pada pemberian.” Demikian simpulnya.

Sesekali dia membandingkan antara dirinya dan anjingnya. Si anjing memperoleh makanan dari tangannya, dan dia selalu setia dan tidak pernah melanggar perintahnya. Sementara dia telah memakan makanan dari anugerah Sang Pencipta, namun terkadang masih melanggar aturan-aturan-Nya. Dalam kondisi demikian, penghargaannya terhadap si anjing semakin besar, tak memandang lagi bentuk fisik anjing itu. Terlepas dari bentuk fisiknya, hewan itu menyimpan hikmah penciptaan yang sangat agung. Hikmah untuk memahami tanda-tanda kebesaran Allah di balik setiap mahluk ciptaan-Nya, dalam bentuk apapun.

Hewan itu menyimpan perasaan yang dalam dan misterius, kecintaan yang terus-menerus tanpa bergantung pada pemberian, kepatuhan yang tidak bersandar pada pertanyaan tentang manfaat yang akan diperoleh, kejinakan yang menghilangkan kesepian seorang manusia, dan penjagaan siang malam—hingga membuat si anjing tidur dengan satu mata terpejam dan satu lagi terjaga. Semua sifat dan perbuatan itu merasuk ke dalam jiwa si anjing, lalu menjelma ke dalam bentuk fisiknya. Sampailah ia pada sebuah pengetahuan baru tentang hikmah di balik setiap ciptaan.

Kisah-kisah yang mewarnai perjalanan spiritual Ibrahim ibn Adham di buku ini amat beragam. Di antaranya kisah tentang pengabdian dan kesetiaan anjingnya, pengorbanan yang dilakukan oleh pembantunya, pengkhianatan dan perebutan kekuasaan politik oleh puteranya sendiri, serta wasiat-wasiat sufistik dari para guru yang ditemui ibn Adham sepanjang perjalanan spiritualnya itu. Ibrahim ibn Adham juga disebut-sebut sebagai quthb al-auliya’ (poros para wali) pada zamannya karena karamah-karamah yang diterimanya dari Allah.

Di atas itu semua, pelajaran penting yang bisa kita petik dari buku ini adalah, sebagai salik (orang yang menempuh perjalanan menuju Allah) hendaknya seseorang melepaskan ego pribadinya di hadapan kehendak-kehendak Allah. Tak selayaknya salik mempunyai keinginan dan kehendak. Yang ada dan harus dipatuhi secara mutlak adalah kehendak Allah semata. Di samping itu, ketetapan hati untuk menempuh jalan menuju Allah hendaknya tetap dipegang teguh dalam kondisi apapun. Sebab, halangan yang menghadang ketika seseorang berjalan kepada-Nya, pada hakekatnya adalah cobaan yang menguji komitmennya. [*]

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Punya versi arabnya ndak??