SEBAGAI orang Islam, sudah selayaknya kita meneladani perilaku yang telah dipraktikkan oleh Pemimpin Agung kita, Rasulullah Muhammad s.a.w. Ini bukan saja karena al-Qur’an telah mengisyaratkan hal itu (Q.S. al-Ahzab: 21), melainkan beliau memang patut dijadikan suri teladan karena keelokan akhlaknya. Bahkan Allah sendiri mengakui keluhuran budi pekerti Rasulullah, “Dan sesungguhnya Engkau Muhammad, benar-benar berbudi pekerti agung.” (Q.S. al-Qalam: 4)
Allah menggambarkan keluhuran akhlak Nabi antar lain melalui surat al-Tawbah: 128. Pada ayat tersebut Rasulullah dilukiskan sebagai: (1) berasal dari kaummu sendiri, (2) terasa berat olehnya penderitaanmu, (3) sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagimu, dan (4) amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orag Mukmin.
Memang, Rasulullah begitu menginginkan keselamatan umatnya. Saat menjelang beliau wafat, kata terakhir yang beliau ucapkan bukanlah keluarga maupun kerabatnya, melainkan umatnya. “Umatku, umatku, umatku…” Demikianlah beliau memanggil-manggil kita, umatnya, karena rasa tanggung jawabnya, dan karena beliau khawatir sesuatu akan menimpa kita sepeninggal beliau.
Sifat kasih dan sayangnya terhadap sesama tidak diragukan lagi. Pernah pada suatu hari, ketika Rasulullah telah wafat, Abu Bakar bertanya pada Aisyah, puteri beliau yang menjadi isteri Nabi, “Perilaku Rasulullah apakah yang belum saya lakukan?” Aisyah menjawab, “Setiap pagi Rasulullah selalu menyuapi makanan terhadap seorang Yahudi yang buta di pasar.” Padahal si Yahudi tersebut selalu menghina dan mencaci maki Rasulullah.
Kemudian Abu Bakar pun melakukan apa yang biasanya dilakukan oleh Rasulullah terhadap orang Yahudi. Namun apa yang terjadi setelah Abu Bakar menyuapi Yahudi itu? Si Yahudi berkata, “Siapakah Anda?” Abu Bakar menjawab, “Aku adalah orang yang biasa menyuapimu setiap pagi.” Akan tetapi Yahudi kembali menimpali, “Bukan, Anda bukanlah orang yang biasa menyuapiku setiap pagi. Sebab, dia selalu menumbuk makanannya dengan halus. Sedangkan Engkau, makanan yang kamu suapkan kepadaku kasar.”
Abu Bakar akhirnya mengakui jati dirinya dan mengabarkan bahwa orang yang biasanya menyuapi si Yahudi adalah Rasulullah yang telah meninggal. Betapa kaget, terharu, dan menyesal si Yahudi mengetahui kabar bahwa orang yang biasa menyuapinya adalah Rasulullah, orang yang selalu dia hina dan caci maki. Si Yahudi akhirnya menyatakan keislamannya karena kagum atas akhlak Rasulullah.
Sikap kasih sayang Rasulullah inilah yang hendaknya kita teladani. Semoga kita bisa. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar