TASAWUF adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan
dimensi atau aspek spiritual dalam Islam. Spiritualitas ini bisa mengambil
bentuk yang beraneka di dalamnya. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih
menekankan aspek ruhaninya ketimbang aspek jasmaninya; dalam kaitannya dengan
kehidupan, ia lebih menekankan kehidupan akhirat dari pada kehidupan dunia yang
fana; sedangkan dalam kaitannya dengan pemahaman keagamaan, ia lebih menekankan
aspek esoterik ketimbang eksoterik, yaitu lebih menekankan penafsiran batini
ketimbang penafsiran lahiriah.
Mengapa tasawuf lebih menekankan spiritualitas dalam
berbagai aspeknya? Ini karena para ahli tasawuf, yang kita sebut Sufi, lebih
mempercayai spirit ketimbang fisik, mempercayai dunia spiritual ketimbang dunia
material. Secara ontologis mereka percaya bahwa dunia spiritual lebih hakiki
dan real dibanding dengan dunia jasmani. Bahkan sebab terakhir dari yang ada
ini, yang kita sebut Tuhan, juga bersifat spiritual. Karena itu, dapat
disimpulkan bahwa realitas sejati itu bersifat spiritual, bukan seperti yang
disangkakan kaum materialis, bahwa yang real adalah yang bersifat material. Begitu
nyata status ontologis "Tuhan" yang spiritual tersebut, sehingga para
Sufi berkeyakinan bahwa Dialah satu-satunya Realitas Sejati. Dialah
"asal" dan sekaligus "tempat kembali," Alpha dan
Omega.Hanya kepada-Nyalah para Sufi mengorientasikan jiwa mereka. Dialah buah
kerinduan mereka, dan kepada-Nya pula mereka akan berpulang untuk selamanya.
Dalam kaitannya dengan hal ini, dalam dunia tasawuf terdapat keyakinan bahwa manusia memiliki dua rumah, satu
rumah jasadnya, yaitu dunia yang rendah ini, dan yang lain rumah rohnya, yaitu alam
yang tinggi. Tetapi karena hakikat manusia terletak pada rohnya, maka manusia
merasa terasing di dunia ini, karena alam rohanilah tempat roh atau jiwa
manusia yang sesungguhnya. Perasaan terasing inilah yang kemudian memicu sebuah
pencarian mistik (the mystical quest) dari seorang manusia, dan dengan itu pula
mansia memulai "perjalanan" spiritualnya menuju Tuhannya. Inilah yang kita sebut
"tarekat" (thariqah). Namun, karena Tuhan sebagai "tujuan akhir"
perjalanan manusia bersifat rohani, manusia harus berjuang menembus
rintangan-rintangan materi agar rohnya menjadi suci. Inilah sebabnya kata
tasawuf dikatakan berasal dari kata shafa' yang artinya kesucian, yakni
kesucian jiwa seorang Sufi setelah mengadakan penyucian dari dari
kotoran-kotoran atau pengaruh-pengaruh jasmani. Penyucian (katarsis/ tazkiyah)
ini penting dalam rangka mendekatkan diri kepada Yang Mahasuci, yaitu Allah
S.W.T., karena Yang Suci hanya bisa didekati oleh yang suci juga.
Dari keyakinan ini muncullah cara hidup spiritual yang pada prinsipnya bertujuan mengadakan "pendekatan" kepada "sumber" dan "tujuan" hidupnya, yaitu Tuhan. Cara hidup spiritual ini bisa mengambil bentuk menyebut-nyebut nama Tuhan, atau yang biasa disebut dengan istilah dzikr, lewat mana seorang Sufi memenuhi jiwanya dengan asma-asma Allah, sehingga bisa merasakan kehadiran dan kedekatan dengan-Nya. Atau dalam bentuk merenungkan dan membaca berulang-ulang firman-Nya dengan penuh kecintaan agar dengan begitu seorang Sufi mengerti "kehendak" Tuhan dan menghayati hikmah serta pelajaran ('ibrah) yang terkandung di dalamnya. Atau hal ini juga bisa dilakukan dalam bentuk "bersendirian dengan Tuhan (tahannuts) di tengah malam buta ketika orang lain sedang terlelap tidur, atau apa yang dikenal dengan "qiyamul-layl" sehingga dengan demikian tercapai hubungan intim dan personal dengan Tuhan. Muncullah dari sini buah hubungan ini dalam bentuk munajat-munajat atau lama'at atau lintasan-lintasan cahaya Ilahi.
Untuk mengintensifkan spiritualnya, sang sufi berusaha mengatasi berbagai rintangan yang akan menghambat lajunya pertemuan dengan Tuhan. Inilah yang disebut dengan tazkiyatul-anfus atau penyuciaan diri, yang bisa berbentuk menahan diri dari hawa nafsu, syahwat, dan amarah. Juga membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, atau melakukan latihan-latihan jiwa (riyadhun-nafs) dalam berbagai disiplin, termasuk berpuasa, 'uzlah (menyendiri, meditasi), dan latihan-latihan jiwa lainnya. Semoga bermanfaat! [*]
Artikel berseri "Kuliah Tasawuf" pada rubrik "Tasawuf - Filsafat" ini merupakan tulisan Prof. Mulyadhi Kartanegara. Beliau adalah dosen pada Islamic College for Advanced Studies (ICAS) - Paramadina, Jakarta, dan merupakan pakar di bidang tasawuf dan filsafat Islam.
Dari keyakinan ini muncullah cara hidup spiritual yang pada prinsipnya bertujuan mengadakan "pendekatan" kepada "sumber" dan "tujuan" hidupnya, yaitu Tuhan. Cara hidup spiritual ini bisa mengambil bentuk menyebut-nyebut nama Tuhan, atau yang biasa disebut dengan istilah dzikr, lewat mana seorang Sufi memenuhi jiwanya dengan asma-asma Allah, sehingga bisa merasakan kehadiran dan kedekatan dengan-Nya. Atau dalam bentuk merenungkan dan membaca berulang-ulang firman-Nya dengan penuh kecintaan agar dengan begitu seorang Sufi mengerti "kehendak" Tuhan dan menghayati hikmah serta pelajaran ('ibrah) yang terkandung di dalamnya. Atau hal ini juga bisa dilakukan dalam bentuk "bersendirian dengan Tuhan (tahannuts) di tengah malam buta ketika orang lain sedang terlelap tidur, atau apa yang dikenal dengan "qiyamul-layl" sehingga dengan demikian tercapai hubungan intim dan personal dengan Tuhan. Muncullah dari sini buah hubungan ini dalam bentuk munajat-munajat atau lama'at atau lintasan-lintasan cahaya Ilahi.
Untuk mengintensifkan spiritualnya, sang sufi berusaha mengatasi berbagai rintangan yang akan menghambat lajunya pertemuan dengan Tuhan. Inilah yang disebut dengan tazkiyatul-anfus atau penyuciaan diri, yang bisa berbentuk menahan diri dari hawa nafsu, syahwat, dan amarah. Juga membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, atau melakukan latihan-latihan jiwa (riyadhun-nafs) dalam berbagai disiplin, termasuk berpuasa, 'uzlah (menyendiri, meditasi), dan latihan-latihan jiwa lainnya. Semoga bermanfaat! [*]
Artikel berseri "Kuliah Tasawuf" pada rubrik "Tasawuf - Filsafat" ini merupakan tulisan Prof. Mulyadhi Kartanegara. Beliau adalah dosen pada Islamic College for Advanced Studies (ICAS) - Paramadina, Jakarta, dan merupakan pakar di bidang tasawuf dan filsafat Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar