TASAWUF pada masa
ini cenderung mengadakan pembaharuan, yakni dengan mengembalikannya ke landasan
al-Qur’an dan al-Sunnah. Tokoh
terkenal pada fase ini adalah al-Qusyairi, al-Harawi, dan al-Ghazali. Al-Qusyairi
yang bernama lengkap Abd al-Karim ibn Hawazin al-Naishaburi (376-465 H.),
banyak mengkritik
sufi-sufi sezamannya yang menyatakan ungkapan-ungkapan syathahiyyat (ganjil dan sulit diterima oleh orang awam), serta para sufi yang mempergunakan
pakaian orang miskin, akan tetapi akhlak mereka bertentangan dengan pakaian
yang mereka kenakan. Untuk mengungkapkan pendapat-pendapatnya itu, dia menulis
kitab Risalah Qusyairiyah. Kelak,
jalan tasawuf yang ditempuh Qusyairi ini akan diikuti oleh al-Ghazali.
Tokoh sufi
lain pada masa ini adalah al-Harawi (nama lengkapnya adalah Abu Ismail Abdullah
ibn Muhammad al-Anshari). Dia dilahirkan di Herat (Khurasan) pada tahun 396 H.,
dan dikenal sebagai seorang sufi yang menentang para sufi lain yang masyhur
dengan keganjilan ungkapan-ungkapannya (seperti al-Busthami dan al-Hallaj).
Karya terkenalnya adalah Manazil
al-Sa’irin ila Rabb al-‘Alamin. Dalam karyanya itu ia menguraikan
tingkatan-tingkatan rohaniah para sufi, di mana tingkatan-tingkatan tersebut
mempunyai awal serta akhir.
Al-Harawi
adalah seorang penyusun teori kefanaan dalam kesatuan, yang mirip teori
al-Junaid. Pada hakikatnya, kefanaan menurut konsepnya adalah ketidaksadaran
seorang sufi (yang telah mencapai tingkatan tertentu) atas segala sesuatu
selain Yang Disaksikan, bahkan juga ketidaksadarannya terhadap penyaksiannya
serta dirinya sendiri. Keadaan yang demikian disebut sakr, istihlam, ataupun
mihwar. Hal ini berbeda dengan kefanaan menurut para penganut panteisme (wahdah al-wujud), yakni, pada dasarnya
tidak ada sesuatu yang tersaksikan, bahkan yang tersaksikan dalam wujud hamba
itu hanyalah Wujud Tuhan. Al-Harawi juga mengemukakan bahwa tingkatan
ketenteraman yang timbul dari ridha Allah adalah sebagai pencegah keganjilan
ungkapan-ungkapannya.
Selain kedua
tokoh sufi tersebut, pada masa ini juga hidup seorang tokoh sufi lain yang
sangat terkenal, yaitu al-Ghazali. Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad
ibn Muhammad ibn Ahmad al-Ghazali. Dia dilahirkan di Thus (Khurasan) pada tahun
450 H. Setelah ayahnya wafat, dia dan adiknya berguru pada seorang ulama di
kotanya bernama Ahmad al-Radzkani. Kemudian dia melanjutkan menuntut ilmu pada
Abu Nashr al-Ismaili yang berada di Jurjan.
Setelah itu,
dia berguru pada Abu al-Ma’ali al-Juwaini atau yang lebih dikenal dengan Imam al-Haramain di Nishapur. Di
lingkungan inilah ia mendapatkan banyak ilmu agama, yang kelak menjadi
penunjang dalam kemajuan karir keilmuannya. Pada masa-masa ini pulalah ia
pernah tertimpa keraguan yang sangat atas ilmu pengetahuan yang ia miliki. Hal
ini sangat mengganggu kehidupan spiritualnya. Namun akhirnya ia mendapatkan
penawar atas “penyakit”-nya itu dengan cara menempuh jalan kesufian. Ia
menceritakan kisah yang dialaminya itu dengan sangat menarik pada kitab Al-Munqidz min al-Dhalal.
Al-Ghazali
mengklasifikasi para pencari kebenaran pada masanya ke dalam empat golongan,
yaitu para teolog, penganut aliran bathiniyyah,
filosof, dan sufi. Dia mengkritik keras ketiga golongan pertama di atas melalui
karyanya Al-Munqidz min al-Dhalal dan Ihya’ Ulum al-Din. Akhirnya dia sampai
pada kesimpulan bahwa golongan terakhir itulah (para sufi) yang merupakan
pencari kebenaran yang hakiki. Al-Ghazali menghabiskan sisa usianya dengan
memilih jalan asketis hingga wafatnya.
Dalam
lapangan filsafat, al-Ghazali menganggap para filosof telah jauh menyimpang
dari ajaran agama Islam. Tiga hal pokok yang menjadi obyek kritikannya adalah: pertama, pendapat para filosof tentang qadim-nya alam. Kedua, pendapat para filosof bahwa Allah hanya mengetahui hal-hal
yang kulliyyat (keseluruhan), bukan
hal-hal yang juz’iyyat (terperinci). Ketiga, pengingkaran para filosof atas
dibangkitkanyya kembali manusia dalam bentuk fisik.
Sedangkan
dalam bidang tasawuf ia mendeskripsikan fase-fase pencapaian rohaniah para sufi
ke dalam lima tingkatan, yaitu: (1) al-thari,
(2) ma’rifat, (3) fana’ dalam
tauhid atau ilmu mukasyafah, (4)
pengungkapan ilmu mukasyafah secara
simbolis, dan (5) kebahagiaan. [*]
Artikel ini
disarikan dari buku “Sufi dari
Zaman ke Zaman: Suatu Pengantar tentang Tasawuf,” yang
ditulis oleh Dr. Abu al-Wafa' al-Ghanimi al-Taftazani. Buku ini merupakan
terjemahan dari judul asli “Al-Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islamiy.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar